Sifat Keberlakuan Hukum Larangan Sholat Jamaah di Masjid

Sahran Raden (Ketua PW Gerakan Pemuda Ansor Sulawesi Tengah 2010-2014 )

Oleh: Sahran Raden

Ada satu pertanyaan yang menarik, saat semalam kami menggelar kegiatan Tadarus Demokrasi bertepatan malam ke 4 bulan suci Ramadhan, dengan Tema Demokrasi dan Kostitusi Indonesia  Salah seorang peserta diskusi bertanya, Bagaimana keberlakuan hukum pelarangan sholat jamaah dimasjid di masa pandemik Covid 19 oleh pemerintah, sebab selain ada masjid yang benar benar tutup, ada juga masjid yang buka menggelar sholat lima waktu dan tarawih berjamaah. Pertanyaan ini menarik sehingga naluri saya ingin mengkonstruksikannya kedalam pemahaman hukum. Saya sangat mengapresiasi terhadap pertanyaan ini.

Sebelumnya tentu Saya ingin menyampaikan bahwa memang semua kita turut bersedih karna sebagai muslim kita tidak dapat sholat lima waktu dan Tarawih di bulan ramadhan secara berjamaah di masjid selama pendemik virus Covid 19. Meskipun kita memiliki keyakinan teologis bahwa sholat berjamaah di masjid memiliki derajat kemuliaan yang tinggi ketimbang dirumah. Namun karena disebabkan ada halangan syari’i maka kita tidak bisah sholat jamaah dimasjid. Dalam konteks  ini bahwa menjaga kesehatan adalah fardhu ain sedangkan sholat berjamaah di masjid adalah fardhu kifayah sebagaimana  Imam an-Nawawi, menyatakan bahwa shalat berjamaah itu fardhu kifayah bagi setiap lelaki yang tidak dalam keadaan musafir. Islam selain sangat mengutamakan kepentingan dan kemasyalahatan manusia, tetapi juga diwajibkan bagi kita untuk mengutamakan dan menghindari bahaya jika ada bahaya yang mengamcam keselamatan jiwa manusia. Sebagaimana satu kaidah ushul fiqh berbunyi bahwa “Menghindari keburukan harus diutamakan daripada meraih kemaslahatan (dar’ul mafasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih).

Pemberlakuan Larangan pemerintah sholat jamaah dimasjid dimasa Covid 19, dapat dilihat dalam dua kategori yakni daerah yang melakukan Pembatasan Sosial Berskala  Besar ( PSBB) dan daerah yang berdasarkan pada Surat Edaran Menteri Agama tentang beribadah selama masa pendemik Covid 19. Kedua duanya secara substansi melarang umat Islam untuk. Sholat berjamaah di masjid, dimana secara sosiologis bahwa penyebaran dan Penularan Corona sangat berpotensi melalui kerumunan massa dan berkumpul dengan jamaah yang lebih besar. Tentu saja bahwa sholat berjamaah dimasjid mendatangkan kerumunan massa dan hampir setiap saat dalam waktu yang hampir lama diantara 45 menit sampai dengan 1 jam minimal kita berada didalam masjid secara berjamaah dan secara terus menerus dengan saaf sholat yang dirapatkan sujud ditempat bergantian dimana jamaah melaksanakan sholat dalam barisan saff, ruku’ dan sujud.

Bahwa pelarangan itu dibuat dalam bentuk kebijakan hukum pemerintah sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14/2020 Tentang  Pelaksanaan Ibadah selama Covid 19 bahwa menyelenggarakan  aktifitas  ibadah  yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim. Fatwa MUI Ini juga secara geografis  wilayah berlakunya,  ada dua kategori yakni daerah yang terpapar Covid 19 berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang  tidak dapat dilaksanakan sholat jamaah di masjid akan tetapi  daerah yang kawasan penularannya masih rendah bisah sholat jamaah dimasjid.

Melihat perkembangan penularan corona yang begitu  cepat dan meluas, maka saat ini hampir tidak ada daerah yang kawasannya aman semua berada di zona yang penularannya tinggi, sebab penyebaran virus ini sudah bersifat meluas melalui transmisi lokal. Maka sewajarnya semua daerah tidak dapat melaksanakan sholat berjamaah dimasjid apalagi setiap kepala daerah telah menetapkan status daerahnya dalam keadaan darurat khusus kesehatan. Maka dasar kita itu sepanjang telah ditetapkan oleh pemerintah yang berwenang terhadap suatu status daerah. Sebagaimana kaidahnya berbunyi ‘Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan pada kemaslahatan (tasharraf al imam ‘ala raiyyah manuuthun bi al mashlahah).

Secara teoritik bahwa dalam hukum Islam dikenal dengan teori  kredo atau syahadat. Teori menyatakan bahwasa pelaksanaan hukum Islam harus dijalankan bagi mereka yang telah mengikrarkan dua kalimah syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan syahadat. Teori ini diambil dari Al-Qur’an, diantaranya pada surat Al-Fatihah : 5, Al-Baqarah : 179, Ali Imran : 7, An-Nisa : 13, 14, 49, 59, 63, 69, dan lain-lain. Teori ini sama dengan teori otoritas hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh H.A.R Gibb dalam bukunya, The Modern Trend of Islam (1950). Menurut teori ini, orang Islam menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Secara sosiologis, orang-orang yang sudah beragama Islam menerima otoritas hukum Islam, taat pada hukum Islam. Teori ini menggambarkan bahwa dalam masyarakat Islam terdapat hukum Islam.

Hukum Islam ada dalam masyarakat Islam karena mereka menaati hukum Islam sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah dan Rasulullah.  Meskipun Gibb sendiri mengakui bahwa tingkat ketaatan umat Islam terhadap hukum Islam mesti berbeda-beda, karena tergantung pada kualitas takwanya kepada Allah, sehingga ada yang taat terhadap seluruh aspek hukum Islam dan adapula yang taat hanya pada sebagian aspek hukum Islam.

Pada konteks yang lain jika kita mengikuti pendapat para Imam mazhab seperti Imam Asy-Syafi’i yang  mengungkapkan teori non teritorialitas dan Abu Hanifah dengan teori teritorialitas ketika mereka menjelaskan teori hukum. Teori teritorialitas dari Abu Hanifah menyatakan bahwa seorang muslim terikat untuk melaksanakan hukum Islam sepanjang ia berada dalam wilayah yang memberlakukan hukum Islam. Sementara teori non-teritorialitas dari Asy-Syafi’i menyatakan bahwa seorang muslim selamanya terikat untuk melaksanakan hukum Islam di manapun ia berada, baik pada wilayah yang diberlakukan hukum Islam maupun pada wilayah yang tidak diberlakukan hukum Islam. Pemahaman  tersebut tentu saja relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar bermadzhab Syafi’i. Oleh karena itu teori ini pada dasarnya telah mengakar pada setiap individu muslim.

Pada aspek hukum, bahwa kekuatan berlakunya hukum memiliki tiga macam kekuatan yakni kekuatan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Bhawa secara yuridis menjadi kewenangan pemerintah dalam mengatur suatu kebijakan dimasa pendemic Covid 19 untuk melindungi warganya. Secara sosiologis berlakunya kaidah pelarangan sholat jamaah dimasjid selama pendemik Comid 19 memang harus dipaksakan dan masyarakat  dapat mentaatinya untuk mencegah keburukan yang lebih besar. Sebab disinilah yang menjadi cita cita secara filosofis sebagai jaminan ketertiban masyarakat dalam beribadah selama Covid 19. Sebagaimana suatu kaidah hukum menyatakan bahwa Salus Populi Suprema Lex Esto, bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.

Kekuatan berlakunya suatu hukum positif jika diidentikan dengan hukum dalam mencapai tujuannya, maka sebagaimana yang disampaikan oleh Gustav Radbruch bahwa tujuan hukum itu adalah keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Hukum selalu dalam keadaan bergerak, artinya bahwa proses pemositifan kaidah hukum ke dalam aturan hukum terus menerus terjadi berulang-ulang.

Bahwa terhadap pelaksanaan kebijakan pelarangan sholat jamaah dimasjid  merupakan kebijakan hukum dimasa emergency yang perlu ditaati oleh kita semua. Memang tidak ada pelanggaran hukum jika orang berjamaah dimasjid, tetapi disebabkan ini sudah menjadi hukum yang tertulis dari pemerintah maka perlu untuk diterima.  Sanksi untuk melawan hukum yang dibuat oleh pemerintah bisah berujung pada pemidanaan. Meminjam perkataan Mahfud MD,  bahwa yang dimaksud yang melawan pemerintah karena tidak mau mematuhi larangan berkumpul, bisa dipidana, bukan berkumpulnya itu sendiri. Sanksi bagi pihak yang melawan keputusan pemerintah terdapat di Pasal 214 dan 216 KUHP. Pasal 214 KUHP berbunyi: (1) Paksaan dan perlawanan tersebut dalam Pasal 212, bila dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 216 KUHP (1): Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Diakhir tulisan ini saya ingin menyimpulkan, bahwa keberlakuan hukum terhadap pelarangan sholat jamaah dimasjid telah bersifat non teritorial artinya tidak lagi berdasarkan adanya zonasi akan tetapi secara universal berlaku untuk semua daerah.  Hal ini karena tujuan hukum yang ingin dicapai yaitu suatu kemanfaatan hukum. Salah satu tujuan berhukum maqashid al syariat adalah hifz al nafs, yaitu setiap pelaksanaan hukum harus memelihara kelangsungan hidup manusia, karena itu tidak dibenarkan upaya-upaya kehidupan yg berakibat hilangnya keberadaan manusia. [*]

Pos terkait