Pemilu 2024 : Voting Day di Valentine’s Day, Suatu Kebetulan ?

Oleh : Hidayatullah

Praktisi Hukum/Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia Sulawesi Tenggara (JaDI Sultra)

 

Pendahuluan

Setelah melalui perdebatan yang cukup lama dan alot, akhirnya Senin lalu tepat 24 Januari 2022, telah disepakati bersama dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan Pemerintah (Mendagri), penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP), bahwa pemungutan suara pada Pemilu 2024 dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 14 Februari atau lebih cepat dibandingkan Pemilu sebelumnya yang digelar pada tanggal 17 April 2019. Salah satu alasanya hari Pemilu 14 Februari agar tidak berhimpitan waktu dengan pelaksanaan Pilkada yang rencananya digelar 27 November 2024.

Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia. Hadir dalam rapat Mendagri Tito Karnavian, Ketua KPU Ilham Saputra, dan Ketua Bawaslu Abhan. Ketua KPU Ilham Saputra mengatakan berdasarkan pertimbangan yang matang, KPU mengusulkan hari pemungutan suara jatuh pada hari Rabu, tanggal 14 Februari 2024.

Setelah mendapat kesepakatan bersama, maka tertanggal 31 Januari 2022 KPU menetapkan hari pemungutan suara melalui surat keputusan  KPU No. 21 Tahun 2022 tentang Hari dan Tanggal Pemungutan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota Serentak Tahun 2024.

Dengan penetapan jadwal hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu 2024 itu mengakhiri spekulasi dan perdebatan terkait penundaan Pemilu 2024 yang sebagian kalangan menghendakinya dengan alasan ekonomi maupun keadaan kedaruratan kesehatan akibat pandemi Covid-19.

Adapun Pilkada serentak yang pelaksanaannya ditahun yang sama juga terjadi dinamika tetapi karena telah diatur kluster pelaksanaan keserentakan dibulan November dalam UU Pilkada No. 10 Tahun 2016, maka disepakati hari pemungutan suara jatuh pada tanggal 27 November 2024 atau selisih 287 hari (9,6 bulan) setelah hari pemungutan suara Pemilu 2024.

Melihat dinamika yang alot dalam penentuan jadwal Pemilu kemarin, maka kedepan dinamika politik elit ini semoga tidak terulang lagi agar tidak menghambat pekerjaan KPU yang diberi amanah konstitusi menyelenggaran Pemilu secara mandiri dan profesional. Perdebatan dan tarik ulur berakibat tidak adanya kepastian hukum
pada publik maupun kewenangan konstitusi yang ada pada penyelenggara pemilu khususnya KPU sebagai pelaksana teknis tahapan dan administrasi pemilu. Padahal publik sangat membutuhkan kepastian-kepastian policy agar tercipta ketertiban Pemilu salah satunya kepastian hukum bagi KPU dan juga Bawaslu dalam pelaksanaan tugas dan fungsi mereka. Begitupula kepastian hukum dalam penyusunan peraturan KPU, kedepan harus lepas dari conflict of interest agar KPU dapat dengan tenang, efisien, dan berkepastian hukum dengan basis perencaaan yang baik dapat mengidentifikasi permasalahan yang harus dipecahkan untuk dirumuskan dalan beleidsregel yang implementatfi baik dari perspektif legal maupun praktis.

Hal ini begitu penting kepastian hukum dalam bekerja bagi KPU karena bukan pekerjaan mudah menyelenggaralan Pemilu serentak 2024 dan tahun yang sama juga diselenggarakan Pilkada serentak seluruh Indonesia. Bahkan kekhawatiran banyak pihak juga disebabkan karena UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dilakukan akibat dari sikap final DPR dan Pemerintah yang menarik revisi UU Pemilu tahun 2021 lalu dari daftar prioritas Proglegnas.

Kekhawatiran banyak pihak bukan tidak berdasar karena ketika UU Pemilu tidak direvisi maka problematika Pemilu 2019 akan terulang dengan menyisahkan banyak masalah baik regulasi, teknis maupun non teknis seperti dampak kemanusiaan atas beban penyelenggara Pemilu yang berat dan marathon mengakibatkan banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal dunia maupun mengalami gangguan kesehatan akibat kelelahan.

Begitu banyaknya kekhawatiran itu, ada satu hal yang juga akan membebani penyelenggara pemilu yang bukan bawaan masalah dari pemilu-pemilu sebelumnya dimana masalah ini adalah hal baru yang memerlukan kebijaksanaan semua pihak mencari solusi yang tepat menyelesaikannya. Hal ini terkait momentum pemungutan suara yang disepakati 14 Februari 2024 ternyata bertepatan dengan momentum valentine’s day atau dikenal di Indonesia adalah hari kasih sayang. Kaitan kedua momentum ini menjadi ulasan khusus penulis seperti apa problematika kedepan ketika dua momentum ini dilaksanakan dalam hari yang sama.

Voting Day di Valentine’s Day

Penetapan jadwal waktu terkait hari pemungutan suara Pemilu serentak 2024 jatuh pada tanggal 14 Februari. Hal ini kebetulan atau tidak tanggal tersebut identik dengan valentine’s day atau hari kasih sayang yang dirayakan setiap tahun pada setiap tanggal 14 Februari. Walau valentine’s day bukanlah budaya bangsa kita tetapi pada hari ini, orang-orang kerap menunjukkan perhatian sebagai bentuk kasih sayang mereka kepada yang lainnya dengan mengirim kartu ucapan, bunga, dan cokelat yang diselipi pesan cinta.

Penulis mengetahui hal ini dari berbagai referensi sejarah tentang Hari Valentine dan penulis sebagai muslim cukup memahami bahwa valentine,s day bukan bagian dari kebudayaan bangsa apalagi dari aspek keagaaman khusus Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia. Perayaan Valentine’s day ini berasal dari budaya Barat, yang berkembang dari sejarah tentang beberapa kisah pada zaman Romawi kuno.

Kita di Indonesia “Hari Valentine” ini dikenal dengan ‘Hari Kasih Sayang’. Kendatipun sering dirayakan kaum muda atau atau kelompok fanatisme tertentu terhadap valentine day tetapi bukan dianggap seperti hari-hari besar keagamaan atau kebudayaan. Sehingga valentine’s day tidak pernah ditetapkan sebagai hari-hari besar atau hari libur oleh pemerintah. Apalagi dalam hal perkembangan dan praktiknya perayaannya ini kerap disalahartikan oleh kaum muda dengan melakukan hal-hal yang melampaui syariat. Sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengingatkan umat Islam dengan dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2017 tentang haramnya merayakan Hari Valentine bagi umat Islam.

Kembali kesoal pemungutan suara Pemilu 2024 yang bertepatan dengan hari valentine ini tentu akan menjadi pro-kontra. Menyalahkan KPU tentu tidak berdasar karena itu hasil kesepakatan bersama DPR dan pemerintah dan lagipula norma konstitusi tidak mengatur hal-hal demikian, terkecuali tidak boleh bertepatan dengan hari-hari besar keagaamaan dan kenegaraan yang diakui oleh pemerintah. Kendatipun demikian valentine’s day tetap saja hari yang sudah diharamkan untuk dirayakan bagi umat Islam dalam fatwa MUI diatas.

Terdapat beberapa selentingan kritikan tajam walau belum meluas tapi bisa menjadi kontraproduktif dengan kualitas penyelenggaraan Pemilu 2024 kedepan. Karena semula valentine’s day hanyalah sebagai perayaan kaum penghambanya yang tidak diakui negara dan tidak diakui sebagai sebuah budaya bangsa, dan apalagi kaum muslim. Tentu saja dengan hari pemungutan suara adalah hari yang diliburkan maka dianggap valentine’s day secara tidak
langsung ikut terlegitimasi sebagai hari yang diliburkan dan dirayakan bersamaan pemungutan suara Pemilu 2024.

Sungguh hal yang mengkhawatirkan karena secara substansi Pemilu itu adalah kompetisi politik merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan dan akrab dengan konflik politik yang kadang berujung kepada konflik sosial dan ideologi. Karena Pemilu adalah konflik sehingga dibentuk penyelenggara yang independen agar mengelola dengan lebih tertib atas asas jujur dan adil agar meminimalisir konflik-konflik sosial politik bagi pihak yang ingin mendeligitimasi hasilnya. Dilain pihak ditakutkan bisa menurunkan paritisipasi pemilih bagi yang anti terhadap hari valentine, dan bagi pemilih pemula dari kalangan sebagian anak muda bisa saja tidak hadir di TPS karena lebih memilih merayakah valentine’s day karena sering dirayakan setiap tahunnya yang mana tahun-tahun sebelumnya tidak dirayakan di hari yang diliburkan.

Situasi ini bukan hal sepele karena katakanlah bagi KPU mau menggunakan sosialiasi dengan jargon misal; Pemilu 2024 adalah hari kasih sayang dan saling menyayangi maka akan dituding KPU ikut mentradisikan atau mengideologiskan bahwa valentine’s day yang hari ini telah dianggap sebagai hari yang tidak boleh dirayakan dalam bentuk apapun baik ucapan maupun tindakan bagi umat Islam karena MUI melalaui Fatwanya telah mengharam merayakan Hari Valentine bagi umat Islam.

Tentu saja KPU tidak mungkin menyampaikan sosialisasi yang bertujuan untuk mengajak pemilih dalam ajakannya melahirkan penolakan atau berbau sesuatu yang haram untuk mengajak apalagi umat Islam diajak untuk memilih dengan dikaitkan karena hari pemungugan suara identik sama dengan valentine’s day. Walaupun dengan cara inovasi apapun ketika KPU mengajak, mengedukasi dan bersosialiasi ada unsur identiknya dengan valentine’s day maka KPU akan menjadi bulan-bulanan publik khususnya kalangan umat Islam.

Tentu berat bagi KPU, dan dalam perjalanannya kedepan tidak akan bisa dihindari akan lahir jargon-jargon sosialiasi baik inovasi penyelenggara dibawah, peserta pemilu maupun insitusi atau lembaga tertentu yang mengajak untuk memilih di hari kasih sayang dengan sejumlah kata-kata yang baik langsung maupun disamarkan. Bawaslu tentu pasti lebih ambigu karena tidak dapat menindak karena mengajak dengan jargon identik hari valentine bukanlah pelanggaran pemilu.

Maka tentu saja dua momen tersebut hari pemungutan suara dan hari valentine akan mengggangu persepsi publik dalam tahapan-tahapan Pemilu yang berjalan dan mengkhawatirkan potensi masalah pemilih yang tidak datang di TPS karena menganggap ajakan ada unsur yang bersifat haram dan dipihak lain pemilih muda lebih memilih merayakan valentine’s day.

Belum lagi kesiapan penyelenggara pemilu KPU dan pengawasan Bawaslu dituntut untuk melaksanakan dan menyelesaikan tahapan demi tahapan benar-benar matang secara regulasi, teknis dan berkepastian hukum. Belum lagi soal menghadapi sengketa proses maupun sengketa hasil dan problem etik. Sembari KPU juga Bawaslu dan DKPP harus memutar otak agar bagaimana cara menghalau tradisi haram bagi umat Islam agar jargon-jargon edukasi maupun sosialisasi KPU, Bawaslu maupun DKPP dan peserta pemilu tidak melukai hati umat Islam karena mengidentikan ajakan memilih dengan kasih sayang atau saling menyayangi terlalu identik dengan hari valentine.

Penutup

Sampai disini penulis masih berkeyakinan bahwa apa yang ditetapkan hari pemungutan suara atau hari Pemilu 14 Februari 2024 jatuh dihari yang sama dengan valentine’s day bukanlah sebuah kesalahan dari aspek hukum dan tidak melanggar norma konstitusi. Bukan sebuah kebetulan tetapi secara sosial memiliki dampak serius yang akan menggangu ketenangan dan ketertiban Pemilu 2024 yang dilaksanakan secara borongan dengan Pilkada ditahun yang sama.

Penulis menyarankan seandainya masih dapat dilakukan perubahan tanggal pemungutan suara  Pemilu 2024 maka baiknya dilakukan, apakah dimajukan atau dimundurkan dalam jangka waktu yang pendek sebelum Peraturan KPU tentang Tahapan, Jadwal dan Waktu Penyelenggaran Pemilu ditetapkan. Lagipula memajukan atau mengundurkan satu atau dua hari tidak mempengaruhi tahapan Pilkada yang masih selisih 287 hari setelah hari pemungutan suara Pemilu 2024.

Demikian, sebagai perenungan bersama demi menata mozaik demokratisasi dibangsa dan negara yang kita cintai ini.

Pos terkait