Netfid Indonesia Sebut Politik Transaksional Jadi Tantangan Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Dahliah Umar (Ketua Netfid Indonesia)

Palu,jaripedenews.Com-  Ketua Network for Indonesian Democratic Society (Netfid), Indonesia, Dahliah Umar mengemukakan sejumlah tantangan yang dihadapi pada pemilihan Kepala Daerah langsung tahun 2020 yakni, maraknya politik uang atau politik transaksional.

“Politik transaksional antar pengusung dengan calon yang diusung, pembiayaan politik yang tidak transparan, oligarki dalam sirkulasi elit di tingkat lokal, politik uang untuk membeli dukungan calon perseorangan, politik uang untuk membeli suara pemilih dan penggunaan sumber-sumber  daya   negara/daerah untuk memenangkan calon,” ungkap Dahliah Umar saat menjadi pemateri webinar memperingati hari lahir  Jaringan Pemilu dan Demokrasi Sulawesi Tengah, yang pertama, Ahad malam, (9/8) via google meet langsung dari Jakarta.

Dia juga menyebutkan siklus politik uang pada pemilihan kepala daerah  langsung tahun 2020 juga  tidak bisa dihindari dari politik uang. Sebab, pemilu sudah menjadi industri untuk menggalang dukungan yang membutuhkan modal besar. Selain itu, partai politik mayoritas dikuasai pemilik modal atau kader yang berlatar belakang pengusaha. Selain itu, politik transaksional juga terjadi antar calon,parpol, klientilism dan pemilih.

Dia berharap, semua pihak mengawasi dan mewaspadai praktek politik transaksional tersebut. Selain itu, ia juga meminta semua pihak memantau dan mengawasi potensi pelanggaran dalan tahapan pencalonan  seperti, kelengkapan dokumen persyaratan dukungan, kelengkapan dokumen persyaratan administrasi, contoh laporan LHKPN, Pajak, Pengunduran diri dan pemberhentian dari instansi terkait, dan lainnya.

Dia melanjutkan, pemalsuan dokumen dan pemalsuan tandatangan atau dokumen yang tidak ditandatangani oleh pejabat berwenang, dukungan  partai politik yang tidak diakui kepengurusannya oleh KemenkumHAM, dukungan calon perseorangan ganda dan identitas palsu.

“kita juga harus mengawasi praktek politik uang yang dilakukan pasangan calon atau tim kampanye dalam memobilisir dukungan calon perseorangan, politik uang dalam pencalonan calon dari partai politik, otoritas legalisir Ijazah Pendidikan, metode Verifikasi keabsahan dan kelengkapan dokumen tidak memenuhi standar, dukungan relawan dan mobilisasi dana oleh relawan kandidat,”jelasnya.

Sementara itu, Akademisi Unversitas Nahdalatul Ulama Indonesia Jakarta, Ahsanul Minan menyebutkan praktek politik dinasti, merebaknya calon tunggal dan pandemi Covid-19 menjadi tantangan tersendiri dalam pemilihan kepala daerah langsung tahun ini. Berbeda dengan Ahsanul Minan, Akademisi dari Universitas Tadulako, M. Nur Alamsyah mengatakan, dalam aras politik lokal penggunaan dana APBD sangat rawan disalahgunakan, khususnya bagi yang sedang berkuasa. Dia menilai, saat ini juga terlihat praktek politik apologi atau politik pembenaran.

“Ini berbahaya, bagi masa depan demokrasi kita, sudah terlihat sisi gelap demokrasi kita ditengah modernisasi. Kita selalu disuguhkan praktek yang membuat rakyat jenuh, para calon kepala daerah tersandra dengan politik uang,”pungkasnya. (rl)

Pos terkait