Dr, Idham Holik, (Anggota KPU Jawa Barat)
Krisis dalam bentuk apapun selalu menciptakan situasi menggegarkan (shocking situation), termasuk krisis kesehatan publik akibat pandemi Covid-19. Memasuki Juni 2020 ini, Indonesia sudah tiga bulan berada dalam ancaman pandemi tersebut. Beragam potensi gangguan psikis pun bisa menjangkiti warga sampai pada level paranoid atau fobia atas Covid-19 tersebut. Yang fobia sudah pasti berpersepsi Covid-19 sangat membahayakan nyawa mereka.
Berdasarkan temuan survei nasional SMRC (Saiful Mujani Research & Consulting) pada tanggal 9 – 12 April 2020 lalu, rata-rata nasional, ada 92% warga (responden pemilih) percaya bahwa Covid-19 adalah ancaman nyata terhadap nyawa mereka. Sebaliknya, hanya 7% yang yang tidak percaya –serta hanya 1% yang tidak tahu.
Selanjutnya untuk tingkat provinsi, ada beragam temuan dari survei tersebut. 99% warga Sulawesi Selatan, 98% DKI Jakarta, 96% Jawa Timur, 91% Jawa Tengah, 89% Banten, dan 95% untuk provinsi-provinsi lainnya yang percaya percaya bahwa Covid-19 mengancam nyawa mereka. Tetapi khusus Jawa Barat hanya 77% responden yang percaya. Jawa Barat adalah provinsi yang paling rendah dalam keyakinan atas bahaya Covid-19.
Di tengah kepercayaan tersebut, hampir semua warga mempercayai bahwa dengan sering cuci tangan dengan sabun dan dengan air mengalir (98% percaya), memakai masker (97% percaya), menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain (96% percaya), dan tidak ke luar rumah (94% percaya) dapat mencegah penularan Covid-19.
Temuan survei nasional SMRC tersebut dapat menjadi modal sosial (social capital) bagi 270 penyelenggara pemilihan (electoral management bodies atau Komisi Pemilihan Umum) di daerah untuk dapat menyelenggarakan Pemilihan Serentak Lanjutan 9 Desember 2020 dengan tetap menjaga kredibilitas elektoral (electoral credibility). Hal ini tentunya juga harus didukung oleh rekayasa elektoral yang tepat (proper electoral engineering) dengan basis protokol kesehatan yang ketat dan diberdayakan oleh TIK (Teknologi Komunikasi Informasi) atau internet.
Selanjutnya dalam perspektif psikologi, temuan survei nasional SMRC tersebut dapat menstimulasi kita untuk mendiskusikan tentang mindset elektoral pemilih (voters’ electoral mindset) terhadap pandemi Covid-19. Mengapa demikian? Karena mindset merupakan fondasi bagi kepercayaan, sikap dan bahkan tindak pemilih. Oleh karena itu, partisipasi elektoral pemilih sangat bergantung pada mindset-nya. Lalu, mindset yang ideal seperti apa yang harus ditumbuhkembangkan baik oleh pemilih ataupun penyelenggara pemilihan itu sendiri.
Mengelola Mindset Pemilih
Secara leksikal, Cambridge Dictionary memaknai mindset is a person’s way of thinking and their opinions. Jadi, jawaban warga (atau pemilih) dalam survei nasional SMRC tersebut dapat dikatakan sebagai representasi mindsetnya. Selanjutnya secara definisional, bagi Cynthia A. McEwen & John D. Schmidt (2007), mindset can generally be defined as the underlying assumptions that shape a person’s ability to perceive and understand the world. Mindset sebagai pembentuk kemampuan seseorang untuk mengetahui dan memahami dunianya. Oleh karena itu, mindset menentukan eksistensi pemilih selama pandemi Covid-19.
Dalam buku Mindset, Carold S. Dweck (2006:6) secara sederhana memaknai mindset sebagai pandangan (the view). Dweck juga mendeskrispikan temuan risetnya selama 20 tahun dimana pandangan yang diadopsi oleh seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana orang tersebut mengarahkan hidupnya. Jadi, dengan mereferensi pada temuan riset Dweck tersebut, pandangan yang diadopsi pemilih sangat mempengaruhi tindakan partisipasi elektoralnya. Hanya dengan mindset yang baik partisipasinya menjadi lebih bermakna (more meaningful participation).
Merujuk pada temuan survei nasional SMRC tersebut di atas, ada temuan penting dimana di satu sisi warga (pemilih) merasa terancam dengan pandemi Covid-19, tetapi di sisi lain mereka percaya bahwa protokol kesehatan dapat mencegah tertularnya virus tersebut. Temuan tersebut menantang penyelenggara pemilihan, apakah bisa efektif dalam mengaktivasi dan meningkatkan antusiasme elektoral pemilih untuk berpartisipasi elektoral?
Tantangan tersebut menjadi semakin menarik di tengah beredarnya informasi elektoral tentang tren penurunan kehadiran pemilih (voter turnout) dalam pemilu-pemilu yang diselenggarakan pada saat masa pandemi Covid-19 sejak awal Januari hingga pertengahan Mei 2020 di berbagai negara di dunia.
Berdasarkan data International IDEA, partisipasi kehadiran pemilih (voter turnout) dalam Pemilu di berbagai negara di tengah pandemi Covid-19 mengalami tren penurunan. Misalnya, pemilu parlemen Iran (21 Februari 2020) mengalami penurunan dari yang sebelumnya 60,09% menjadi 42,32%. Pemilihan lokal di Perancis (15 Maret) mengalami penurunan dari 63,6% menjadi 44,7%. Pemilu Mali (29 Maret 2020) mengalami penurunan ekstrim dari sebelumnya 42,7% menjadi 7,5%. Pemilu lokal Queensland Australia (29 Maret 2020) mengalami penurunan dari yang sebelumnya 83% menjadi 77,5%.
Di sisi lain, ada juga penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi Covid-19 yang berhasil meningkatkan tingkat partisipasi kehadiran pemilih (voter turnout) dalam memberikan suaranya. Misalnya kehadiran pemilih dalam pemilu presiden Taiwan (11 Januari 2020) sebesar 74,90%, tertinggi sejak pemilu presiden tahun 2008 atau sedikit penurunan dari rata-rata kehadiran pemilih sekitar 76% dalam 6 kali pemilu presiden. Partisipasi pemilih pemilu parlemen Korea Selatan (15 April 2020) meningkat menjadi 66,2%, partisipasi tertinggi sejak tahun 1992. Pemilu lokal (municipal elections) di Bavaria, Jerman (15 Maret 2020) mengalami peningkatan dari yang sebelumnya 55,6% menjadi 58,5%.
Oleh karena itu, KPU penyelenggara pemilih harus memiliki kemampuan komunikasi sosialisasi dan pendidikan pemilih yang persuasif, sehingga dapat membentuk dan mengembangkan maindset yang tepat (proper mindset). Selain harus didukung oleh media komunikasi yang tepat, komunikasi sosialisasi dan pendidikan pemilih tersebut harus didukung oleh kemampuan desain pesan persuasif (persuasive message design).
Dengan desain pesan tersebut, tujuan komunikasi sosialisasi dan pendidikan pemilih dengan efektif dapat tercapai (intended effect) yaitu dimana pemilih memiliki mindset elektoral yang tepat (proper electoral mindset), sehingga mereka memiliki semangat untuk berpartisipasi elektoral tanpa harus mengalami kekhawatiran atau paranoid atas ancaman Covid-19. Apalagi kini mulai 1 Juni 2020, Pemerintah Republik Indonesia menerapkan kebijakan Adaptasi Kebiasaan Baru (the new normal).
Jika merujuk pada pemikiran Dweck (2006) dalam buku tersebut di atas, mindset elektoral yang tepat tersebut adalah growth mindset (mindset tumbuh). Pemilih dengan growth mindset tersebut biasanya memiliki kepercayaan diri yang baik atas kompetensinya, optimisme, keberanian menghadapi masalah, kerena memiliki keyakinan akan adanya solusi atau jalan keluar atas masalah yang dihadapinya, berdaya (powerful), memiliki kuriositas, rasionalitas yang baik, dan hal-hal positif lainnya. Mengapa demikian? Karena mereka berkeyakinan bahwa inteligensi mereka terus berkembang, tidak bersifat statis.
Pemilih dengan growth mindset pasti bersepakat dengan gagasan Roger McNamee (2004) dalam bukunya The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk. McNamee ingin mengajak khalayak pembaca bukunya untuk memiliki dan mengembangkan optimism melalui adaptasi kebiasaan baru (the new normal), karena ada peluang sangat besar (great opportunities) dalam masa krisis yang menghadirkan resiko besar (great risk).
Oleh katena itu, di tegah pandemi Covid-19, berpikir dengan growth mindset merupakan suatu keharusan bagi pemilih. Mengapa demikian? Karena menurut Michael Joseph Ryan Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan WHO (World Health Organization), virus Covid-19 mungkin tidak akan pernah hilang dan menyarankan agar masyarakat dunia harus belajar hidup dengannya (14/05/2020). Itulah kenapa WHO merekomendasikan the new normal (adaptasi kebiasaan baru).
Hal ini juga ditegaskan oleh Dr. Faheem Younus, kepala Klinik Penyakit Menular dari Univeritas Maryland, Amerika Serikat. Younus mengatakan bahwa kita akan hidup berbulan-bulan bersama Covid-19. Jangan biarkan Covid-19 membuat hidup menjadi sulit, mari belajar bahagia dan hidup bersama fakta dan jangan panik. Mari kita hidup dalam pengharapan (living in hope). Baginya, berharap adalah pengobatan ajaib (a magic treatment) selama vaksin Covid-19 belum ada. Pada saat itu juga, kita harus mematuhi protokol kesehatan Covid-19.
Dengan growth mindset, pemilih memiliki daya tolak terhadap terror informasi yang mengandung unsur fear appeals (seruan ketakutan) atas pandemi Covid-19. Dengan adopsi dan implementasi protokol kesehatan yang benar, mereka berkeyakinan bahwa berpartisipasi elektoral dengan aman di Pilkada Serentak 2020. Keyakinan ini esensial bagi tindakan aktif dalam partisipasi elektoral. Mereka tidak mengalami fobia Covid-19 dan mampu berpikir dan bertindak rasional dengan baik.
Hal ini tentunya berbeda sekali dengan pemilih yang ber-mindset tetap (fixed mindset). Biasanya mereka ditandai pandangan pesimis, tak berdaya (powerless), inferior, merasa terancam, terdeportasi secara sosial, menghindari tantangan baru, merasa tidak memiliki solusi atau jalan keluar atas masalah yang dihadapi, permisif, dan hal-hal negatif lainnya. Dengan demikian fixed mindset bisa menjadi virus elektoral baru dalam penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, materi sosialisasi dan pendidikan pemilih harus bisa membentuk dan mengembangkan growth mindset pemilih sebagai basis pembentuk enthusiastic mindset (mindset bergairah). Dalam konteks ini, pendekatan psikologi positif (positive psychology) harus menjadi pendekatan dalam kegiatan komunikasi sosialisasi dan pendidikan pemilih di masa pandemi Covid-19. Hanya dengan pendekatan psikologi positif tersebut, pemilih dapat diberdayakan (empowered) menjadi pemilih berdaulat di tengah pandemi Covid-19 dan terbebas dari serangan hoaks elektoral terkait virus tersebut.
Menyembuhkan Pemilih Fobia Covid-19
Tidak diragukan lagi, Covid-19 telah menjadi ancaman serius bagi demokrasi (elektoral) di berbagai negara di dunia. Lalu, apakah kita (harus) menyerah padanya? Tentunya tidak! Itulah jawaban yang tepat. Kita harus melawannya dengan adaptasi kebiasaan baru (the new normal). Oleh karena itu, jika didapati ada pemilih yang bersikap fobia Covid-19, maka mereka bisa dikatakan sebagai paradoks perlawanan terhadap Covid-19 dan bahkan paradoks masa depan demokrasi elektoral.
Fobia tersebut tidak menyelesaikan masalah dan hanya membuat pemilih akan terjebak pada masalah baru kesehatan psikis dan fisik yang dapat merusak imunitas tubuhnya. Pemilih harus diselamatkan dengan cara diberikan (akses ke) informasi pandemi yang benar (the correct infodemic) dan ini merupakan tanggung jawab elektoral penyelenggara pemilihan.
Di sinilah pentingnya bagi penyelenggara pemilihan dapat menyusun dan mengimplementasikan rencana komunikasi krisis tepat (the proper crisis communication) selama pandemi Covid-19. Komunikasi krisis tersebut ditujukan untuk mengatasi ketakutan pemilih dengan memberikan mereka informasi yang konkrit dan akurat, apalagi kini peyelenggaraan pemilihan berada dalam lanskap politik pasca-kebenaran (post-truth politics).
Oleh karena itu, penyelenggara pemilihan memiliki peran sentral dalam menyajikan argumen-argumen yang benar dan tepat yang diharapkan menjadi basis keputusan elektoral pemilih, sehingga kualitas partisipasi yang diharapan dapat terwujud. Ini merupakan langkah yang mesti dilakukan penyelenggara pemilihan sebagai jaminan untuk menjaga demokrasi (a guarantee for safeguarding democracy) (Bicu, 2020).
Deskripsi tersebut di atas menuntut kemampuan komunikasi (communication competence), agar sosialisasi dan pendidikan elektoral menjadi efektif. Mengapa demikian? Karena komunikasi yang efektif dapat membangun kepercayaan (trust building) dan mereduksi rasa takut (fear reducing).
Dalam buku Safeguarding Health and Elections, Ferdinan Buril dkk (2020:5) mengemukakan bahwa pendidikan pemilih di masa pandemi Covid-19 harus diorientasikan untuk maksud-maksud seperti yaitu pertama, memberikan informasi yang jelas, yang dapat diakses dan sering kepada pemilih tentang COVID-19 termasuk moda penularannya dan cara-cara memberantasnya.
Penyelenggara pemilihan juga harus dapat memberikan praktik terbaik dalam literasi kesehatan (health literacy). Hal ini dapat disampaikan dalam desain pesan tersusun ringkas yang menggunakan suara aktif (active voice), kata-kata yang akrab (familiar words), dan visual yang relevan dengan budaya (culturally relevant visuals).
Kedua, memberikan informasi yang jelas, yang dapat diakses dan sering kepada warga tentang prosedur elektoral baru dan bagaimana cara mematuhinya. Terkait hal ini ada contoh praktis menarik dalam pemilu parlemen Korea Selatan (15 April 2020) yaitu dimana NEC (National Election Commission) melakukan sosialisasi kebijakan kode perilaku (code of conduct) bagi pemilih yang berpartisipasi dalam pemberian suara.
Dan ketiga, mengatasi disinformasi terkait Covid-19 dan ujaran kebencian terhadap kelompok termagirnalkan dan berresiko. Selain itu, tentunya, hoaks dan misinformasi seputar Covid-19 harus diberantas. Terkait praktek paska-kebenaran ini (the post-truth practices), penyelenggara pemilihan harus dapat berkolaborasi dengan pemangku kepentingan dalam pemilihan (the electoral stakeholders).
Kolaborasi strategis tersebut tidak hanya dengan jurnalis yang memiliki peran sebagai edukator dan verifikator informasi, tetapi juga dengan LSM/NGO, komunitas, dan aktivis yang memiliki perhatian dan komitmen untuk memberantas bahaya praktek pasca-kebenaran bagi pemilih. Jadi di tengah pandemi Covid-19, penyelenggara pemilihan harus memperkuat praktek hubungan publiknya yang persuasive (persuasive public relations).
Kolaborasi strategis tersebut tidak bisa dihindari dan bersifat mendesak untuk dilakukan oleh penyelenggara pemilihan untuk mendukung gerakan pemilih sadar Covid-19 dan antusias berpartisipasi. Kolaborasi strategis tersebut representasi dari dukungan publik untuk suksesnya penyelenggaraan pemilihan di tengah pendemi Covid-19.
Kolaborasi strategis tersebut menjadi relevan di tengah kampanye global jangan biarkan demokrasi menjadi korban senyap (the silent victim) Covid-19. Kampanye tersebut diinisiasi oleh Kofi Annan Foundation dalam surat terbuka pada 19 Mei 2020 di Jenewa. Mari bersatu, kita lakukan tindakan luar biasa (extraordinary measures) memerangi Covid-19. Jangan biarkan Pilkada Serentak 2020 jadi korban sunyi.
Dengan menjadi(kan) pemilih ber- enthusiastic mindset (mindset bergairah) dengan paham antifobia Covid-19 dan penyelenggara pemilihan berintegritas, mari kita bersama-sama sembuhkan demokrasi elektoral yang sedang “sakit” akibat Covid-19 ini. Demokrasi elektoral Indonesia harus sehat, karena ini adalah masa depan bangsa dan negara serta daerah kita.
Daftar Pustaka:
Buku/Artikel/Opini/Letter
Bicu, Ingrid (2020). Communication guidelines for EMBs during Covid-19 crisis. Commentary. International IDEA. Published: 18/05/2020. Retrieved: https://www.idea.int/news-media/news/communication-guidelines-embs-during-covid-19-crisis accessed May 30th, 2020, 08:00 AM
Buril, Fernand, et al (2020). IFES COVID-19 Breafing Series: Safeguarding Health and Elections. Arlington, Virginia, US: International Foundation for Electoral Systems.
Dweck, Carol S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. New York: Ballantine Books.
Cambridge Dictionary. Mindset. Link: https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/mindset accessed at Mei 28th, 2020, 09:17 AM.
International IDEA (2020). Global overview of COVID-19: Impact on Elections. Updated on 28 May 2020. Retrieved: https://www.idea.int/news-media/multimedia-reports/global-overview-covid-19-impact-elections accessed at May 29th, 2020, 04:13 PM
Kofi Annan Foundation (2020). Open Letter: Democracy must not become the silent victim of the Coronavirus pandemic. Geneva, 19th of May 2020. Retrieved: https://www.kofiannanfoundation.org/electoral-integrity/open-letter-democracy-must-not-become-the-silent-victim-of-the-coronavirus-pandemic/ accessed May 30th, 2020, 10:28 AM
McEwen, C. A., & Schmidt, J. D. (2007). Leadership and the corporate sustainability challenge: Mindsets in action. SSRN 1118071. https://doi.org/10.2139/ssrn.1118071
McNamee, Roger (2004). The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk. USA: Portofolio, The Penguin Publishing Group.
Popa, Maria (2014). Fixed vs. Growth: The Two Basic Mindsets That Shape Our Lives. Opinion, January 29th. 2014. Brainpickings. Retrived at: https://www.brainpickings.org/2014/01/29/carol-dweck-mindset/ accessed May 29th, 2020, 04:16 PM
Reichenbach, Dominique (2020). Taiwan’s Electoral System Puts the US to Shame. Opinion. The Diplomat, February 13, 2020. Retrieved at: https://thediplomat.com/2020/02/taiwans-electoral-system-puts-the-us-to-shame/ accessed May 29th, 2020, 03:13 PM.
Berita
Pilkada 2020 Dinilai Bisa Adopsi Pemilu Korsel. Berita. Medcom.id, 21 April 2020, 20:46 WIB. Link: https://www.medcom.id/nasional/politik/8koBln5b-pilkada-2020-dinilai-bisa-adopsi-pemilu-korsel diakses 29 Mei 2020, 15:03 WIB
Pemilu di Tengah Pandemi Buat Partisipasi Pemilih Menuru. Berita. Republika.co.id, selasa 07 April 2020, 03:39 WIB. Link: https://republika.co.id/berita/q8dbic335/pemilu-di-tengah-pandemi-buat-partisipasi-pemilih-menurun diakses 29 Mei 2020, 14:55 WIB
Dr. Faheem Younus: during coronavirus pandemic, leave denial, leaves panic. News. TheAZB. Retrieved at: https://theazb.com/dr-faheem-younus-during-coronavirus-pandemic-leave-denial-leaves-panic/ accessed at May 29th, 2020, 09:24 PM.
We will live with Covid19 for monts. Let’s not deny it or panic: Dr. Faheem Younus. News. TheAZB, May 2020. Retrieved: https://theazb.com/we-will-live-with-covid19-for-months-lets-not-deny-it-or-panic-dr-faheem-younus/ accessed at May 29th, 2020, 08:55 PM.
Coronavirus may never go away: WHO. News. Robin Millard, Agence France-Presse. The Jakarta Post, May 14, 2020, 09:45 AM. Retrieved at: https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/14/coronavirus-may-never-go-away-who.html accessed at May 29th 2020, 09:30 PM.