Memperkuat Konsolidasi Demokrasi: Peran Strategis Partai Politik

Idham Holik

Oleh: Idham Holik

(Anggota KPU Jawa Barat)

Bacaan Lainnya

Tulisan ini merupakan salah satu tulisan serial yang akan mengkaji tentang penguatan konsolidasi demokrasi (empowering the democratic consolidation) di Indonesia –selain sub-tema tersebut di atas, sub-tema lainnya juga ada. Tulisan ini distimulasi oleh perkembangan diskursus kemajuan demokrasi (advancement of democracy) yang kini semakin berkurang di ruang publik (public sphere) –padahal proses demokratisasi kembali telah berlangsung sejak pasca reformasi 1998.

Mengapa diskursus kemajuan demokrasi penting? Karena sejak 1945, Indonesia telah berkomitmen menjadikan demokrasi sebagai sistem politik. Secara de jure, hal ini terdapat dalam teks Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat, yaitu “…Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat …”. Dalam klasifikasi gelombang demokratisasi Huntington (1991), Indonesia berada di Gelombang Kedua –bukan di Gelombang Ketiga (mulai awal 1970-an) seperti yang terjadi di Amerika Latin, Eropa Timur, Tengah, dan Barat Daya, Asia Pasific, dan Afrika.

Di penghujung tahun 2019 ini adalah momen penting bagi bangsa Indonesia untuk mendiskusikan kemajuan demokrasi, apalagi Indonesia telah sukses menyelenggaran Pemilu Serentak 2019 dan sebentar lagi ada Pemilihan Serentak 2020 serta Pemerintah RI akan segera mengesahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 –termasuk di dalamnya ada arah kebijakan dan strategi konsolidasi demokrasi. Oleh karena itu, menjadi penting terlebih dahulu untuk mereview bagaimana lembaga-lembaga internasional mengukur proses demokratisasi di Indonesia.

Lembaga Internasional Mengukur Demokrasi Indonesia

Pada tahun 2018 lalu, banyak lembaga internasional yang telah melakukan survei untuk mengukur indeks demokrasi atau kebebasan dalam demokrasi di Indonesia. Secara singkat, hasilnya tidak memuaskan (unsatisfied result) atau skor yang turun (score declined). Dalam tulisan ini, ada tiga laporan demokrasi Indonesia dari lembaga internasional yaitu dari the Economist Intelligence Unit (EIU), Freedom House (FH), dan International IDEA yang akan dideskripsikan secara ringkas.

Pertama, pada 9 Januari 2019, the Economist Intelligence Unit (EIU) telah mempublikasikan Indeks Demokrasi (ID) 2018 untuk 167 negara dimana Indonesia berada di ranking ke-65 dengan skor 6,39 –setingkat di atas Singapura (di ranking 66 dengan skor 6.38) – dan dikategorikan sebagai flawed democracy (demokrasi cacat). ID Indonesia selama 10 tahun (2008-2018) tidak mengalami peningkatan signifikan yaitu dimana berdasarkan data EIU 2008, ID Indonesia dahulu sebesar 6,34 di ranking 69 dari 167 negara dan dikategorikan sama seperti 2018 yaitu sebagai flawed democracy. Demokratisasi jalan di tempat (the democratization has been stuck).

Sebenarnya EIU telah mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang berhasil menyelenggarakan pemilu yang adil dan bebas dan menghormati kebebasan sipil (civil liberties), tetapi di sisi lain masih terdapat masalah seperti pelanggaran kebebasan media. Indonesia juga dianggap memiliki masalah signifikan lainnya dalam demokrasi misalnya budaya politik yang kurang berkembang (underdeveloped political culture), tingkat partisipasi politik yang rendah, dan masalah dalam fungsi pemerintahan (the functioning of governance).

Kedua, pada Februari 2019, Freedom House (FH) telah mempublikasi laporan Freedom In The World 2019 dengan tajuk Democracy in Retreat. Berdasarkan hasil penelitian di 195 negara dan 14 wilayah selama tahun 2018, laporan tersebut mendeskripsikan demokrasi dalam kemunduran akibat adanya penurunan kebebasan global (global freedom). Oleh karena itu, gelombang demokratisasi harus berulang (roll back).

Ada 7 subkategori dalam laporan tersebut yang dinilai yaitu proses elektoral (electoral process), partisipasi dan pluralisme politik (political pluralism and participation), fungsi pemerintah (functioning of government), kebebasan ekspresi dan keyakinan (freedom of expression and belief), hak berserikat dan berorganisasi (associational and organizational rights), supremasi hukum (rule of law).

Selama 10 tahun terakhir, berdasarkan laporan FH, kebebasan dalam demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Indonesia telah bertransformasi dari negara bebas (free country) di tahun 2008 menjadi negara bebas sebagian (partly free country) di 2018. Penurunan kualitas ini dilandasi empat perkembangan politik di 2018 yaitu (1) penolakan Mahkamah Konstitusi atas judicial review presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017; (2) pertarungan ulang (rematch) Pemilu Presiden 2014 di Pemilu 2019 dimana Jokowi dan Prabowo sama-sama sebagai kandidat presidensial; (3), kasus korupsi ketua DPR RI Setya Novanto; dan (4), pelecehan dan ancaman terhadap orang dan aktivis LGBT (Gay, Lesbian, Biseksual, dan Transgender).

Dan ketiga, pada 19 November 2019, International IDEA mempublikasikan laporan dengan judul The Global State of Democracy 2019: Addressing the Ills, Reviving the Promise. Berdasarkan laporan tersebut, ada dua kategori indeks demokrasi untuk Indonesia yaitu berada di rentang menengah (mid-range) dan tinggi (high) untuk atribut indeks GSoD (Global State of Democracy) –di Asia dan Pasifik tahun 2018.

Indonesia berada di rentang menengah (mid-range) (0,4 – 0,7) untuk empat atribut indeks GSoD seperti yaitu atribut pemerintah representatif (representative government), hak asasi fundamental (fundamental rights), periksa pemerintah (checks on government) dan administrasi imparsial (impartial administration). Selanjutnya untuk satu atribut Indeks GSoD lainnya atau untuk atribut keterlibatan partisipatoris (participatory engagement), Indonesia berada di posisi tinggi.

Data dalam laporan-laporan tersebut harus menjadi salah satu sumber rujukan bagi Indonesia dalam memperbaiki atau meningkatkan proses demokratisasinya yang masih dalam tahap konsolidasi. Sebenarnya agenda konsolidasi demokrasi telah dicanangkan oleh Pemerintah RI sejak tahun 2004 –dalam RPJMN 2004-2009 dan RPJPN 2005-2025. Agenda ini telah berlangsung selama tiga periode pemerintah dan untuk periode pemerintahan selanjutnya, Pemerintan RI masih mengagendakan konsolidasi demokrasi dalam rancangan RPJMN 2020-2024.

Memperkuat Konsolidasi Demokrasi

Istilah lain dari konsolidasi demokrasi, adalah demokrasi mentah (incomplete democracy) (O’Donnell, 1995). Itulah kenapa konsolidasi demokrasi bertujuan bagaimana mewujudkan demokrasi yang berfungsi dengan optimal (a fully functioning democracy) (Grassi dalam Badie et al, 2011:614). Jika merujuk pada publikasi internasional tersebut di atas, Pemerintah RI telah mengambil keputusan tepat dan rasional untuk tetap mengusung agenda konsolidasi demokrasi. Di sisi lain, kondisi ini telah membuka peluang kritik publik yaitu kenapa demokratisasi di Indonesia tidak berkembang? Atau kenapa Indonesia sulit memasuki tahapan pematangan demokrasi?

Dalam upaya memfungsikan demokrasi yang efektif, terlebih dahulu, penting untuk memahami konsep demokrasi dengan benar. Ada dua jenis pengertian demokrasi yaitu minimalis (minimalist) dan lebih luas (wider meaning). Dalam pengertian minimalis, demokrasi dipahami dengan pengertian konstitusionalisme (constitutionalism), sedangkan yang lebih luas, demokrasi dipahami dengan pengertian egalitarianisme (Rorty, 2007). Dalam egalitarianism, demokrasi sebagai cita-cita sosial (a social ideal) dimana adanya kesetaraan kesempatan (equality of opportunity) bagi semua warga negara. Dikarenakan luasnya cakupan kedua pengertian tersebut, deskripsi tulisan ini dibatasi pada demokrasi dalam pengertian konstitusionalisme saja dan untuk pengertian egalitarianisme akan dibahas tersendiri.

Dalam konteks pengertian minimalis, praktek demokrasi dimaknai sebagai sistem pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan pejabat terpilih secara bebas (freely elected officials) (Rorty, 2007). Output pemilu berpengaruh terhadap proses konsolidasi demokrasi. Terkait ini, Robert Dahl (1989:221) mengemukakan konsep poliarki (polyarchy) sebagai definisi demokrasi.

Poliarki memiliki 7 atribut yaitu (1) pejabat terpilih; (2) pemilu adil dan bebas; (3), hak pilih inklusif; (4) hak menyalonkan diri (the right to run for office); (5) kebebasan ekspresi; (6) informasi alternatif; dan (7) otonomi asosiasional (associational autonomy). Atribut 1 – 4 adalah aspek dasar poliarki dimana harus ada pemilu yang inklusif, adil, dan kompetitif, sedangkan atribut 5 – 7 merujuk pada kebebasan sosial dan politik yang harus ada selama dan juga di antara pemilu –sebagai syarat bagi pemilu yang adil dan kompetitif. Tulisan ini dibatasi hanya untuk mendiskusikan atribut 1- 4 saja.

Parpol sebagai Aktor Kunci Konsolidasi Demokrasi

Atribut poliarki 1 – 3 tersebut di atas telah diakui oleh the Economist dalam Index Democracy 2018 –dimana Indonesia telah dapat menyelenggarakan pemilu yang adil dan bebas – dan juga International IDEA (2019) yang mengakui Indonesia merupakan salah satu negara yang memiki indeks partisipasi politik (participatory engagement) yang tinggi –diperkuat dengan tingkat partisipasi pemberian suara pemilih (voter turnout) di Pemilu Serentak 2019 yang mencapai 81% melampaui target RPJMN 2015-2019 sebesar 77,5% dan partisipasi di pemilu sebelumnya (Pileg 2014 sebesar 70% dan Pilpres 2014 sebesar 75%).

Angka 81% tersebut tidak hanya merepresentasikan perilaku mayoritas pemilih yang aktif, tetapi juga kepercayaan publik (public trust) pada sistem politik demokrasi dan lembaga penyelenggara demokrasi. Hal ini dibuktikan juga oleh hasil survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) yang dipublikasikan pada 03 November 2019 dimana mayoritas warga puas dengan jalannya demokrasi di Indonesia yaitu 69,8%, sedangkan yang tidak puas hanya 25,4%.

Selanjutnya implementasi atribut poliarki 4, ada dua faktor yang menentukan yaitu faktor regulasi elektoral dan partai politik (parpol). Yang pertama, regulasi elektoral telah mengaransi hal tersebut dalam bentuk UU Pemilu dan Peraturan KPU RI –penyandang disabilitas memiliki kesempatan. Dan yang kedua, impelentasi atribut 4 tersebut oleh partai politik masih menjadi perdebatan –terkait hal ini, ada sebuah pertanyaan yaitu seberapa besar etnis minoritas, penyandang disabilitas, dan pihak lainnya memiliki kesempatan untuk menjadi calon yang diusung oleh parpol.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, publikasi hasil survei LSI pada 29 Agustus 2019 menjadi penting untuk didiskusikan dimana hanya ada 6% responden yang sangat percaya kepada parpol sebagai lembaga dalam demokrasi, 47% cukup percaya, 34% sedikit percaya, dan 8% tidak percaya sama sekali. Data survei ini sudah seharusnya menjadi peringatan bagi parpol untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadapnya, karena parpol adalah pilar demokrasi.

Ada beberapa isu strategis yang menjadi faktor erosi kepercayaan publik terhadap parpol. Erosi tersebut dapat menjadi efek berganda (multiplier effect) bagi kemunduran demokrasi –disebut sebagai democractic erosion atau democractic backsliding. Misalnya di setiap Pemilu atau Pilkada, isu candidacy buying (pembelian rekomendasi pencalonan) masih mengemuka, padahal regulasi elektoral secera eksplisit telah melarang –misalnya Pasal 47 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2015. Menurut Badoh & Dahlan (2010:15), candidacy buying merupakan bagian dari praktek korupsi politik.

Korupsi politik yang dilakukan oleh fungsionaris parpol, tidak hanya pada level internal parpol –seperti dalam isu candidacy buying, tetapi juga pada level lembaga pemerintahan. Misalnya Freedom House menjadikan kasus korupsi Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai salah satu faktor aprasial skor kebebasan (freedom score) dan menjadikan Indonesia sebagai partly free country –seperti dideskripsikan di atas.

Permasalahan elektoral selanjutnya yaitu isu vote buying (pembelian suara atau politik uang) di setiap pemilu/pilkada. Permasalahan tersebut masih menjadi ancaman yang sangat serius bagi proses demokratisasi pada umumnya dan khususnya integritas elektoral. Misalnya Aspinall dan Berenschot (2019) dalam buku Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia telah mengurai permasalahan elektoral tersebut. Yang jelas, praktek politik uang tentunya melibat para kontestan elektoral dan menjadikannya sebagai strategi pemenangan (electoral winning strategy).

Deskripsi singkat tersebut di atas telah memetakan adanya permasalahan aktual serius di tubuh parpol sedangkan di sisi lain dalam rancangan RPJPN 2005-2025, partai politik diposisikan sebagai salah satu aktor kunci dalam upaya mewujudkan konsolidasi demokrasi. Hal ini senada dengan pemikiran Grassi yang menyatakan bahwa parpol merupakan jangkar utama (the key anchors) konsolidasi demokrasi (dalam Badie et al, 2011:617). Posisi politik partai yang sangat strategis dalam pembangunan demokrasi (democratic development).

Fakta politik dan idealisme posisi parpol dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia belumlah sinkron –ada kesenjangan politik yang tajam (sharp political gap). Oleh karena itu, dalam menatap masa depan demokrasi dan melalui rancangan RPJMN 2020-2024 (p.209), Pemerintah RI berpandangan politik realistis dimana Pemerintah RI menilai bahwa parpol sebagai aktor kunci belum mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal.

Hal ini dikarenakan parpol belum memiliki konsistensi peran dan secara internal, parpol terjebak pada praktik oligarki sehingga belum mampu menjawab kepentingan rakyat. Selain itu, Pemerintah juga mengidentifikasi ada gejala konsolidasi kekuatan elit politik lama dan munculnya orang kuat lokal yang berpotensi menyebabkan arus balik (setback) pada konsolidasi demokrasi.

Revitalisasi Integritas Politik Partai

Untuk menyelesaikan permasalah kompleks tersebut, Pemerintah memiliki rancangan arah kebijakan dan strategi konsolidasi demokrasi untuk periode mendatang (dalam rancangan RPJMN 2020-2024) yaitu penataan lembaga demokrasi. Hal ini mencakup menyusun skema bantuan keuangan partai politik; mendorong demokrasi internal partai; memperkuat transparansi akuntabilitas parpol; dan menyempurnakan Undang-Undang Bidang Politik.

Sebenarnya arah kebijakan dan strategi tersebut di atas bukanlah gagasan politik baru, karena pada periode sebelumnya, dalam RPJMN 2015-2019, agena konsolidasi demokrasi yang dirancang Pemerintah salah satunya adalah perubahan UU Parpol. Ini tujukan untuk mendorong pelembagaan parpol dengan memperkuat sistem kaderisasi, rekrutmen, pengelolaan keuangan partai, pengaturan pembiayaan partai politik melalui APBN/APBD untuk membangun parpol sebagai piranti dasar bangunan demokrasi.

Berdasarkan deskripsi tersebut, revitalisasi integritas politik partai sangat dibutuhkan. Artinya tanpa gerakan reformasi internal, partai akan tetap sulit memfungsikan diri sebagai aktor kunci atau jangkar utama konsolidasi demokasi. Sebenarnya, fakta integritas politik di setiap pemilu/pilkada secara formal ditandatangani oleh parpol (peserta/pengusung) dan didukung oleh badan peradilan etika internal partai dan Sistem Integritas Partai Politik Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi tetap saja efeknya tidak kuat (mild effect).

Kini sudah saatnya partai memandang bahwa pendekatan prosedural (procedural approach) integritas politik tidak lah cukup. Gerakan revitalisasi integritas partai tersebut harus menggunakan pendekatan subtantif (substantive approach). Nilai-nilai etika dalam politik demokrasi harus dapat diinternalisasikan dalam sikap dan perilaku fungsionaris dan anggota parpol. Dalam konteks ini, pendidikan literasi etika politik menjadi kunci masuk (entry pass) untuk mencapai keberhasilan praktek integritas politik partai. Tentunya, proses pendidikan literasi tersebut menempatkan Pancasila sebagai sumber nilai etika politik.

 

Referensi:

Buku/Makalah/Artikel

Aspinal, Edward & Berenschot, Ward (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Ithaca & London: Cornell University Press.

Badoh, Ibrahim Z.F. & Dahlan, A. (2010). Korupsi Pemilu di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta Selatan: Indonesia Corruption Watch.

Grassi, Davide (2011). Democratic Consolidation. In Bertrand Badie et al (Edts). International Encyclopedia of Political Science. Volume 2. SAGE Publications, Inc., pp. 614-620.

Huntington, Samuel P. (1991). The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman, Oklahoma: University of Oklahoma Press.

Robert Dahl (1989). Democracy and Its Critics. New Haven: Yale University Press.

Rorty, Richard (2007). Democracy and Philosophy. In Kritika & Kontext. Vol. 34, May 2007. Retrieved at link: https://www.eurozine.com/democracy-and-philosophy/?pdf

O’Donnell, Guillermo (1995). Illussions about Condolidation. In A. M. Smith, et al (Edts) (2016). New Critical Writings in Political Sociology. Volume Three: Globalization and Contemporary Challenges to Nation-State. New York: Routledge, pp. 187-204.

 

Publikasi Riset

Freedom House (2009). Freedom in the World 2009. Indonesia. Retrieved at the link: https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2009/indonesia

Freedom House (2019). Democracy in Retreat. Freedom in the World 2019.Retrieved at link: https://freedomhouse.org/sites/default/files/Feb2019_FH_FITW_2019_Report_ForWeb-compressed.pdf

International IDEA (2019). The Global State of Democracy 2019: Addressing the Ills, Reviving the Promise. Stockholm, Sweden: International IDEA. Retrieved at the link: https://www.idea.int/sites/default/files/publications/the-global-state-of-democracy-2019.pdf

The Economist Intelligence Unit (2009). Index of Democracy 2008. Retrieved at link: https://graphics.eiu.com/PDF/Democracy%20Index%202008.pdf

The Economist Intelligence Unit (2019). Democracy Index 2018. Retrieved at link: https://img.scoop.co.nz/media/pdfs/1901/The_EIU__Democracy_Index_2018__Press_Release__Asia.pdf

Lembaga Survei Indonesia (2019). Tantangan Intoleransi dan Kebebasan Sipil Serta Modal Kerja pada Periode Kedua Pemerintahan Joko Widodo. Rilis Survei LSI 03 November 2019. Link: http://www.lsi.or.id/riset/447/rilis-survei-lsi-03-november-2019

Lembaga Survei Indonesia (2019). Efek Kinerja Pemberantasan Korupsi terhadap Dukungan pada Jokowi. Temuan Survei Nasional 2016-2019. Rilis Survei LSI 29 Agustus 2019. Link: http://www.lsi.or.id/riset/444/rilis-temuan-survei-nasional-290819

Dokumen

Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.

Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

Rancangan Teknokratik BAPPENAS. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.

Sistem Integritas Partai Politik. Kerja Sama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Link: https://acch.kpk.go.id/id/berkas/buku-antikorupsi/umum/sistem-integritas-partai-politik-sipp

Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025

Berita

KPU Sebut Partisipasi Pemilih pada Pemilu 2019 Capai 81 Persen. Kompas.com – 27/05/2019, 16:41 WIB. Link: https://nasional.kompas.com/read/2019/05/27/16415251/kpu-sebut-partisipasi-pemilih-pada-pemilu-2019-capai-81-persen

Pos terkait