Palu, Jaripedenews.com – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengungkap data penyalahgunaan anak pada pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD, serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
”Bentuk penyalahgunaan anak dalam politik yang dimaksud sudah masuk kategori membahayakan perlindungan jiwa anak seperti mempersenjatai anak, menghasut anak atau ujaran kebencian, money politik dan kampanye terbuka membawa anak dibawah usia 17 tahun atau balita. Maka sanksi harus diberikan. UU Perlindungan Anak dan UU Pemilu telah mengatur maka harus diterapkan, sebab ini masih rentan terjadi pada 2024,”tegas Ai Maryati Solihah,Ketua KPAI, saat menjadi pembicara melalui daring pada dialog publik Eksistensi Anak dalam Aktivitas Politik pada Negara Hukum Demokrasi yang digagas oleh Rumah Perempuan dan Anak Sulawesi Tengah, Sabtu, (29/1).
Ai Maryati Solihah menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk tidak melindungi anak. Regulasi di negara ini sudah mengatur dengan begitu baik, bahwa Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
“Undang-Undang 35 tahun 2014, perubahan pertama dari UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 15 dengan tegas menyebutkan bahwa Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Begitu juga pasal Pasal 76 H menyatakan “Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa. Bahka ada ancaman pidananya yang dalam pasal 87: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76H dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 100 juta,”ungkapnya.
Namun ia mengakui telah terjadi perubahan pertama dari UU 23 tahun 2002 menjadi Undang-Undang 35 tahun 2014 memang menghapus sebagian redaksi pasal tentang ancaman pidana penyalahgunaan anak dalam politik.
Pada kesempatan itu Ai Maryati mengeluarkan catatan lama, tahun 2018 KPAI menerima pengaduan penyalahgunaan anak selama kampanye pilkada antara lain, menggunakan tempat pendidikan anak untuk kegiatan kampanye 4 kasus (13,64%), memobilisasi massa anak oleh partai politik atau calon kepala daerah 12 kasus (50%), menggunakan anak sebagai penganjur atau juru kampanye untuk memilih partai atau cakada tertentu 2 kasus (9,09%), usia anak dibawah 17 tahun masuk ke DP4 1 kasus (4,55%), menampilkan anak di atas panggung kampanye parpol dalam bentuk hiburan 2 kasus (4,55%) dan embawa bayi atau anak yang berusia di bawah 7 tahun ke arena kampanye terbatas 4 kasus (18,18%).
Selain itu, KPAI juga memperoleh data pelibatan anak dalam kampanye pilpres dan pileg 2019, diantaranya, manipulasi data anak sebagai pemilih, menggunakan fasilitas anak seperti sekolah dan ruang bermain untuk kampanye. Juga memobilisasi massa anak untuk kampanye, memanfaatkan anak sebagai juru kampanye, menampilkan anak sebagai biintang kampanye dan menampilkan anak diatas panggung kampanye.
Tidak hanya itu, pelibatan dan penyalahgunaan anak juga terlihat dengan menggunakan anak untuk memasang dan memakai atribut partai politick tertentu, melibatkan anak dalam politik uang atau sejenisnya, mempersenjatai anak atau memberikan benda berbaya pada anak saat kampanye.
Yang tak kalah menarik kata Ai Maryati Solihah, tak jarang memprovokasi anak untuk memusuhi calon atau partai politik tertentu, melibatkan anak dalam sengketa hasil pemilihan suara dan menjadi pemilih pengganti.
Dia berharap pada pemilu dan pemilihan tahun 2024 mendatang tidak lagi terjadi pelibatan dan penyalahgunaan anak dalam kampanye pada pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden dan wakil presiden dan pemilu legislatif.