Kluster Voters Education dan Peningkatan Partisipasi Pemilih Pilkada 2020

Oleh : Sahran Raden, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah  Periode 2018-2023

 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Serentak Tahun 2020 merupakan  pilkada gelombang ke empat yang dilaksanakan di Indonesia setelah diundangkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Salah satu isu penting dalam pilkada yakni upaya peningkatan partisipasi pemilih yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu. Partisipasi pemilih selalu mengalami dinamika, sejalan dengan berbagai faktor yang turut serta mempengaruhi pelaksanaan pilkada serentak. Pada tahun 2015 ada sembilan provinsi yang melaksaakan pilkada serentak hasilnya porsentase partisipasi pemilih menurun drastis dibandingkan dengan Pemilu 2014.

Berdasarkan data tingkat partisipasi pemilih pada pilkada serentak tahun 2015  dari sembilan provinsi tersebut yakni ; Sumatera Barat 65,80%, Jambi 65,85%, Bengkulu 65,36 %, Kepri 55,29%, Kalimantan Tengah 52,27%, Kalimantan Selatan 66,34%, Kalimantan Utara 62,01%, Sulawesi Utara 64,18% dan Sulawesi Tengah 69,72%. Pada pemilu 2019 disembilan Provinsi tersebut mengalami kenaikan tingkat partisipasi dengan capai diatas 80%.  Hal ini menandakan bahwa kecendrungan partsisipasi pemilih dalam setiap momentum pemilu dan pemilihan mengalami dinamika dan fluktuasi sesuai dengan dinamika pemilu dan pemilihan. Terjadinya dinamika partisipasi pemilih  ini dipengaruhi oleh berbagai faktor mulai dari kurangnya pendidikan politik, masih banyaknya manipulasi dan politik uang, komitmen pemberantasan korupsi yang kurang, hingga ke masalah teknis dan administratif. serta yang juga tidak kalah penting nya adalah kepercayaan untuk mewujudkan negara kesejateraan bagi pemimpin terpilih dalam pemilu. Faktor ini bisa jadi adalah salah faktor determinan penyebab adanya dinamisasi  partisipasi pemilih dan penyebab munculnya beragam tipe pemilih seperti tipe pemilih skeptis, pesimis, apatis, pragmatis, dan lainnya.

Problem Partisipasi Pemilih

Sejumlah problem partisipasi pemilih dalam pengalaman pemilu dan pikada dapat menghambat kualitas jalannya proses demokratisasi. Tantangan bagi partisipasi pemilih dalam pemilihan dapat dikategorikan dalam kontek idiologi pemilih dan konteks pragmatisme politik. Dalam konteks idiologi dapat dikategorikan pada segregasi keagamaan dan idiologi politik kebangsaan. Dalam konteks pragmatis maka problem partisipasi menyangkut perilaku pemilih dalam pemilu dan pemilihan. Pandangan miopik dan pragmatis tentang politik menjadi hambatan dan problem menumbuhkan kesadaran politik kewarganegaraan. Selain itu Voluntaritas warga sangat lemah dalam berpartisipasi dalam pemilu dan pemilihan.

Partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut serta menentukan pimpinan           pemerintahan” Partisipasi politik tersebut didefenisikan sebagai keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik yang dilakukan oleh warga negara biasa. partisipasi politik  dapat dibedakan dalam dua hal.  Pertama,  partisipasi dalam warga masyarat dalam keadaan sadar dalam hal untuk memperjuangkan hak otonom masyarakat yang tanpa didorong oleh kekuataan diluar diri individu atau partisipasi politik tidak berdasarkan mobilisasi yang dilakoni baik oleh aktor maupun pemerintah. Kedua, partisipasi politik  yang dimobilisasi atau digerakan oleh aktor-aktor politik, sehingganya partisipasi politik lebih bersifat semu bukan berpartisipasi dalam keadaan sadar.

Partisipasi masyarakat adalah salah satu kunci            atas kredibilitas pelaksanaan Penyelenggaraan pemilu. Masyarakat pemilih adalah subyek dalam proses pemilu dan bukan merupakan obyek semata. Partisipasi pemilih di suatu daerah menjadi salah satu indikator untuk menilai kualitas partisipasi masyarakat.  Melalui sosialisasi diharapkan terjadi internalisasi dan penyadaran yang kemudian menimbulkan sikap baru proaktif atau penguatan sikap terhadap keharusan keikutsertaan warga dalam proses politik yang sedang atau akan berjalan. Karena sosialisasi menjadi kurang makna manakala hanya merupakan transfer of knowledge, transfer of information, atau transfer of election procedure. Lebih dari itu sosialisasi dan pendidikan pemilih menjadi sarana kedaulatan yang hakiki pada proses electoral demokrasi.

Strategi Peningkatan Partisipasi Pemilih

Dalam catatan tingkat partisipasi pemilih pada pemilu 2019 sebesar 82%, secara nasional dan sebaran rata rata tingkat partisipasi pemilih disemua provinsi mencapai 80 % hingga 90 % tingkat partisipasi pemilih. Kenaikan tingkat partisipasi pemilih ini melebih target capaian KPU yakni 77.5%. meski dengan tingkat kerumitan yang tinggi, tingkat partisipasi Pemilu Serentak Tahun 2019 naik sebanyak 10.62 % dari Pilpres Tahun 2014 dan naik sebanyak 6,82 % dari Pileg Tahun 2014.

Dalam pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serentak tahun 2020 ini mesti harus ada target kualitatif terhadap peningkatan partisipasi pemilih. Paling tidak target dan capaian Partisipasi pemilih stabil dalam ambang batas legitimasi demokrasi lokal, Berkurangnya pragmatisme pemilih. Pada pemungutan dan penghitungan suara target nya  Suara tidak sah pemilih rendah dan tingginya suara sah dalam pada saat pemungutan suara tanggal 23 September 2020.

Selain itu target sasaran dalam pilkada seretak meningkatnya tingkat literasi politik warganegara, Meningkatnya keterlibatan warganegara dalam wilayah publik (political engagement), Meningkatnya voluntarisme warga negara dalam proses politik.

Terhadap sasaran capaian itu, maka strategi yang dibangun dalam peningkatan partisipasi pemilih yakni menentukan kluster umum dan kluster kontekstual pada penentuan sasaran pendidikan pemilih.  Penentuan sasaran pendidikan pemilih itu mencakup pada Pemilih pemula, Perempuan, Disabilitas dan Marginal, kelompok keagamaan, dan pemilih milenial. Sedangkan penentuan kluster kontektual yakni dengan memetahkan Daerah partisipasi pemilih rendah, Daerah potensi pelanggaran pemilu tinggi, Daerah rawan konflik, daerah terisolir dan daerah rawan bencana.

Dengan menentukan sasaran diatas, maka perlu aktivitas dasar program parmas dengan memulai, Konsolidasi program parmas,  Diseminasi hasil program parmas, Evaluasi program parmas dan Dokumentasi program parmas. Aktivitas dasar itu dilaksanakan dengan melakukan Riset Parmas,  Pembuatan bahan pendidikan pemilih/warganegara, Pembentukan pusat pendidikan pemilih, Fasilitasi pendidikan pemilih, Pengembangan komunitas peduli pemilu dan demokrasi, Penggalangan relawan demokrasi, Penggalangan partisipasi pemilih melalui aktivitas massal. Selain strategi konvensional itu, maka perlu dilakukan strategi dengan menggunakan aplikasi teknologi sehingga dengan cepat melalui saluran teknologi informasi pemilu dan pemilihan dapat diakses oleh publik. Tentu strategi ini harus dilakukan secara serentak dan masif serta melalui konsolidasi hirarkis kelembagaan penyelenggara pemilu dengan bermitra kepada stackholder tanpa menganggu dan membatasi kemandirian dan independensinya.

 

Pos terkait