Idham Holik: Politik Identitas Melalui Pendekatan Neo-Marxis, NSM dan Postmodernis

Palu, Jaripedenews.com – Pemilu di masyarakat multikultur atau multicultural societies adalah orang-orang yang berbeda budaya, agama, ras, etnisitas dan lainnya yang hidup bersama di komunitas yang sama.

Pandangan itu dikemukakan oleh anggota KPU RI Dr Idham Holik saat memberikan kuliah umum dan sosialisasi pendidikan pemilih, pemilu 2024, politik identitas dan moderasi beragama, di kampus Universitas Alkhairaat, Jumat, (25/11).

Bacaan Lainnya

Menurutnya, multikulturalisme adalah situasi dimana semua kelompok budaya atau ras yang berbeda dalam suatu masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama, tidak ada yang diabaikan atau tidak ada yang dianggap tidak penting.

Disatu sisi, Inklusivisme berpandangan, bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya.

“Disini masih didapatkan toleransi teologis dan iman”sebutnya.

Pada kesempatan itu, Dr Idham Holik juga mengemukakam tiga pendekatan dalam mendefinisikan politik identitas, diantaranya, pendekatan Neo-Marxis, pendekatan NSM (New Social Movement)/GSB (Gerakan Sosial Baru) dan pendekatan Postmodernis (Postmodernist Approach).

Pendekatan Neo-Marxis, kata mantan anggota KPU Jawa Barat itu, menekankan pada teori kuasa atau theory of power yang memandang ketidakadilan kelas (class inequality) sebagai sumber yang sesungguhnya dari eksploitasi dan penindasan (oppression)

“Teori ini memandang bahwa aktivis berupaya menghilangkan ketidakadilan ekonomi (economic inequality) dan menantang struktur kelas sebagai agent utama perubahan sosial,”jelasnya.

Lain halnya dengan pendekatan New Social Movement (NSM) atau Gerakan Sosial Baru (GSB) berupaya memahami peran identitas dalam gerakan sosial. Pendekatan ini, lanjut Holik berupaya menjelaskan konsep mobilisasi rakyat, yaitu bagaimana dan kapan rakyat bertindak.

Teori GSB, kata Idham Holik memandang gerakan sosial sebagai usaha untuk berjuang memperluas kebebasan (fight to expand freedom), bukan sekedar meraihnya, gerakan tersebut memobilisasi untuk pilihan (choice), tidak sekedar emansipasi. Fokus utamanya adalah pada ekspresi identitas untuk mencari pengakuan atas identitas dan gaya hidup baru (recognition for new identities and lifestyles).

Sementara pendekatan postmodernis atau postmodernist approach lebih menekankan pada analisis postmodernis tentang politik identitas, mengkonseptualisasikan kuasa atau power dalam istilah yang sangat berbeda dari perspektif Neo-Marxis dan NSM.

Dalam pandangan postmodernis ini, hemat Dr Idham Holik eksistensi kategori status membentuk salah satu regulasi. Setiap aktivisme atas nama kategori tersebut tidak akan mengurangi ketimpangan (not alleviate inequality), tetapi akan memperkuat kategori tersebut dengan peningkatan penggunaan kategori untuk mengatur dan mendominasi kelompok status subordinat.

Pada bagian lain, ia juga mengkhawatirkan Indonesia pasca kebenaran atau ketika kebenaran dikesampingkan, ketika hoaks dan ujaran kebencian menjadi santapan sehari-hari, hal ini sama sekali tidak menguntungkan demokrasi di Indonesia.

“Demokrasi kita tergantung pada ruang publik yang dibuka secara demokratis dan bermartabat,”pungkasnya.

Pos terkait