Oleh: Dr. Idham Holik
Anggota KPU Jawa Barat
Sebagai bagian yang sangat penting dari sistem politik demokrasi, Pemilihan (Pilkada) mensyaratkan adanya ruang publik (public sphere). Pilkada harus diisi dengan beragam wacana ideal tentang politik demokrasi, kepemimpinan politik, dan arah pembangunan daerah, karena Pilkada adalah momentum strategis untuk mendesain masa depan daerah dalam konteks idealitasnya (in its context of ideality). Ruang publik dapat memfasilitasi itu semua.
Mengapa demikian, karena bagi Jürgen Habermas (1991), ruang publik dapat memberikan kesempatan kepada rakyat (baca: publik/pemilih) untuk melakukan komunikasi politik diskursif. Ruang publik sebagai antitesa dari komunikasi atau propaganda politik elektoral yang sering kali menggunakan pendekatan transmisional (satu arah dan tidak ada dialog).
Di ruang publik, pemilih diaktivasi atau distimulasi untuk terlibat aktif dalam diskusi. Mereka dapat berwacana politik secara rasional dan bebas dari persekusi politik pihak siapapun. Mereka menjadi komunikator (communicator) atau subjek politik, bukan hanya komunikate (communicatee) atau objek politik saja. Kedaulatan pemilih (voters’ sovereignty) bisa teraktualisasi di ruang publik tersebut.
Sebagai ruang wacana, ruang publik harus menjadi pasar gagasan (market of ideas) dimana gagasan-gagasan politik dikontestasikan. Isu-isu politik didiskusikan agar terbangun pemahaman politik pemilih yang benar. Pemilih manjadi tercerahkan, sehingga mereka tidak terjebak dalam lingkaran setan (devil’s circle) hoaks, misinformasi, dan disinformasi.
Dengan demikian, ruang publik dapat menjadi mekanisme preventif bagi potensi terulangnya praktek politik pasca-kebenaran (post-truth politics) di Pilkada Serentak 2020 ini. Di ruang publik, pesan propaganda semburan kebohongan (“firehose of falsehood” propaganda) diverifikasi melalui diskusi rasional-kritis. Jadi, ruang publik bisa menjadi mekanisme proteksi pemilih dari serangan pesan propaganda destruktif. Ruang publik menyehatkan nalar politik pemilih.
Intelektual Harus Aktif di Ruang Publik
Ruang publik juga dapat menjadi sebagai lokus issue engagement. Kata engagement tidak hanya dimaknai sebagai keterlibatan, tetapi juga dapat dimaknai sebagai dialogue (Simon 2002). Jadi issue engagement dapat pahami sebagai dialog tentang isu.
Pelaku issue engagement tidak sekedar mengakses isu-isu politik strategis –melalui news engagement, tetapi juga mendialogkannya dengan yang lain di ruang publik. Mekanisme tersebut menjadi penting untuk mengkonfirmasi dan memverifikasi kebenaran atau keakuratan serta arah atau maksud dari suatu isu politik tertentu. Jadi, ruang publik dapat menjadi bagian dari solusi peningkatkan literasi politik pemilih.
Dalam konteks Pilkada, issue engagement terjadi dimana komunikator politik seperti kandidat, analis politik, aktivis, pemilih, dan lain sebagainya dapat mengintroduksi isu-isu politik dan mendiskusikannya. Dengan framing dan fungsi agenda-setting serta idealismenya, pers sebagai komunikator politik dapat memberitakan isu-isu politik krusial selama masa kontestasi elektoral Pilkada, agar kandidat, pemilih, analis politik, aktivis dan pemangku kepentingan Pilkada (the electoral stakeholders) lainnya dapat terlibat dalam perdebatan diskusi tersebut.
Mengapa issue engagement penting di ruang publik? Berdasarkan temuan riset, Thomas M. Meyer dan Markus Wagner (2015) mendapati bahwa issue engagement memiliki implikasi penting bagi pemahaman kualitas demokratik kampanye pemilu. Dengan issue engagement, pemilih dapat mengevaluasi isu atau wacana politik dan bahkan program yang ditawarkan kandidat. Issue engagement dapat hadirkan pilihan politik terinformasikan dengan baik (the well-informed choices).
Kini issue engagement pemilih semakin terfasilitasi dengan teknologi mutakhir intenet (Web 2.0 dan Web 3.0) yang telah berhasil mentransformasi ruang publik konvensional menjadi ruang publik digital, sehingga kini ada istilah e-democracy. Dengan ruang publik tersebut, lanskap komunikasi poltik tidak sekedar menjadi lebih interaktif tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi juga berbasiskan informasi politik yang melimpah (abundantly informed). Internet telah merubah cara publik berdemokrasi.
Pada 30 Januari 2020, We are Social & Hootsuite merilis data Digital 2020. Berdasarkan data tersebut, pertumbuhan pengguna internet di Indonesia berada di ranking ketiga dunia setelah India dan China. Indonesia mengalami pertumbuhan pengguna internet tahunan lebih dari 17%.
Tidak hanya itu saja, rata-rata 7 jam 59 menit dalam sehari pengguna internet Indonesia (yang berusia 16-64 tahun) meluangkan waktunya untuk berinternet. Ini di atas rata-rata dunia yaitu 6 jam 43 detik. Dalam perspektif optimisme digital, data tersebut mendeskripsikan bahwa internet dapat menghadirkan peluang besar peningkatan kualitas demokrasi melalui ruang publik digital.
Sebagai agent of change (agen perubahan) dan moral agent (agen moral), para intelektual yang tinggal di daerah memiliki peran strategis untuk terlibat aktif di ruang publik digital tersebut. Secara imperatif, intelektual dituntut untuk dapat berkontribusi dalam mewujudkan optimisme digital tersebut di tengah Indonesia sedang terus menguatkan konsolidasi demokrasi.
Kontribusi mereka dapat dimulai dengan presensi dan keaktifannya di ruang publik digital, begitu juga hal yang sama di ruang publik konvensional. Ruang publik digital lebih efektif bagi intelektual mengemukakan gagasannya untuk diwacanakan secara massif, ruang publik tersebut karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu serta didukung oleh infrastruktur komunikasi internet yang semakin baik. Dengan kemampuan komunikasi diskursif yang persuasif, intelektual bisa mengobarkan wacana politik rasional-kritis yang mencerahkan bagi pemilih.
Di ruang publik, tidak sekedar mempersuasi pemilih untuk berpartisipasi aktif di semua tahapan elektoral, tetapi intelektual dapat menstimulasi pemilih untuk berani bicara untuk mengekspresikan harapan politiknya atas kepemimpinan politik dan pemerintah daerah periode mendatang. Selain sebagai stimulator, intelektual harus bisa memposisikan diri sebagai komunikator politik kepentingan pemilih dan pelopor demokrasi deliberatif.
Di era propaganda komputasional, intelektual diharapkan dapat mengimbangi wacana politik di ruang publik digital dengan cara mengkounter informasi viral yang sering kali menyesatkan atau merusak nalar politik pemilih yang sengaja dan sistematis diseminasikan oleh para pendengung politik bayaran (the paid political buzzers). Mekanisme kounter politik tersebut juga dapat dilakukan dengan cara melibatkan pendengung organik (the organic buzzers) yang diaktivasi dan diorganisasikan oleh para intelektual melalui retorika politiknya.
Oleh karena itu, intelektual diharapkan dapat menyajikan wacana politik alternatif yang sekiranya bisa meningkatkan literasi demokrasi elektoral pemilih. Analogi sederhana seorang intelektual itu seperti Prometheus, dalam mitologi Yunani. Ia adalah Titan (dewa) pelindung ummat manusia yang memiliki pemikiran ke masa depan (forethought). Ia telah menentang Zeus dengan mencuri apinya dan memberikannya kepada manusia di bumi. Di bumi, ia mengajari manusia seni, ilmu pengetahuan dan sarana untuk bertahan hidup (Murray, 1867).
Selanjutnya ada sebuah pertanyaan penting, apakah semua warga negara atau warga net adalah intelektual? Terkait jawaban pertanyaan tersebut, bagi Antonio Gramsci (1971/1992:9), semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua manusia di dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual. Kenapa demikian, karena manusia adalah homo sapiens yang memiliki potensi kognitif luar biasa sebagai basis aktivitas intelektual, tetapi sering kali tidak dioptimalkan penggunaannya. Lalu, siapakah intelektual tersebut?
Intelektual Organik, Jangkar Demokrasi
Secara leksikal, kata intelektual dimaknai sebagai cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan (KBBI). Ada dua hal penting dari makna leksikal tersebut yaitu, pertama, kecerdasan sebagai syarat utama bagi seorang dikatakan sebagai intelektual dan ditandai dengan kepemilikan ilmu pengetahuan yang luas. Itulah kenapa intelektual disebut juga sebagai cendekiawan.
Dan Kedua, tentang makna berakal. Jika merujuk pada pemikiran Raymond Williams (2015:122), kata intelektual sering kali diidentikkan dengan orang yang menganut intelektualisme (intellectualism) dan kata intelektualisme merupakan bentuk lain dari rasionalisme (rationalism). Jadi intelektual adalah seorang rasionalis dan rasonalitas gagasannya menjadi indikator keintelektualan seseorang.
Karl Mannheim (1954:9) menyebut intelektual dengan istilah intelligentsia. Menurutnya, dalam setiap masyarakat, intelligentsia yang memiliki tugas khusus (special task) untuk memberikan interpretasi dunia (an interpretation of the world) untuk masyarakat tersebut. Intelektual merupakan interpreter (penafsir) realitas politik demokrasi dengan tujuan memberikan kejelasan kepada publik agar memiliki kesadaran, pengetahuan dan pemahaman politik yang benar.
Selanjutnya, Gramsci membagi intelektual menjadi dua yaitu pertama, intelektual tradisional, misalnya guru, pendeta (priests), dan adiministrator yang melanjutkan pekerjaan yang sama dari satu generasi ke generasi. Tidak ada perubahan yang berarti yang bisa diwujudkan oleh intelektual tradisional.
Dan kedua, intelektual organik. Jenis intelektual ini berbeda sekali dengan intelektual tradisional. Intelektual ini bekerja secara organik melakukan perubahan sosial melalui perjuangan gagasan. Mereka memainkan peran politik direktif, mereka menjadi kompas politik. Mereka juga konstan dalam berjuang untuk merubah pikiran masyarakatnya. Tidak seperti intelektual tradisional, intelektual organik terus bergerak (Gramsci, 1992:4; Said, 1996:4).
Dengan pemikiran idealnya, intelektual organik terus aktif mengisi wacana pencerahan publik tanpa terpengaruh oleh pengaruh atau dominasi politik kelas penguasa (ruling class). Dalam Pilkada, intelektual organik konsisten mengedukasi pemilih, tanpa takut dieksklusi oleh jaringan politik berkuasa (the ruling political network). Mereka selalu hadir dalam ruang-ruang publik untuk memberikan pencerahan kepada pemilih tentang hak konstitusionalnya dalam proses politik elektoral. Mereka adalah idealitas intelektual (the ideality of intellectual).
Konsolidasi demokrasi membutuhkan intelektual organik. Mereka mendorong praktek demokrasi yang memungkin berkembangnya rakyat berdaulat, pemilih cerdas, kandidat berorientasi pada kepentingan pemilih, pilkada inklusif, pers independen, dan idealitas lainnya. Di ruang-ruang publik, mereka dengan lantang mengkritik praktek politik populisme, identitas, klientelistik (termasuk politik uang), bias-gender, dan pembiaran disabilitas (disability omission or careless). Mengapa demikian? Karena beragam jenis politik tersebut adalah ancaman nyata bagi demokrasi elektoral.
Intelektual organik juga harus bisa mempersuasi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Mereka mampu menggerakan pemilih apatis atau merubah minset pemilih absten atau golput (the absentee voters). Misalnya pada Pilpres 2014 lalu, Frans Magnis Suseno pernah mengemukakan prinsip “minus malum” dimana pemilih dapat memilih yang paling sedikit keburukannya di antara pilihan yang buruk. Di akun Twitternya, Mafud MD (2018) juga pernah mengemukakan hal sama dengan kaidah ushul fiqh: Dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih (menghindari kerusakan/kejahatan harus lebih diutamakan daripada meraih kebaikan).
Intelektual organik mampu memberikan diskurus demokrasi dengan baik dan benar kepada rakyat. Di tengah masih ada paham demokrasi sebagai “thogut”, intelektual organik mampu mentransformasi mereka yang menganut paham tidak benar tersebut. Paham politik sesat tersebut harus diperangi, karena hal tersebut bukan hanya persoalan penggunaan penggunaan hak pilik, tetapi bisa mengarah pada penolak sistem politik demokrasi di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Komitmen untuk memperbaiki demokrasi yang sedang mengalami resesi membuat intelektual organik berani untuk mengkritik kaum “oligark” (oligarch) yang terus ingin melangengkan kekuasaannya di wilayah publik. Dengan kekayaan yang melimpah, kaum “oligark” biasanya mengendalikan lanskap kontestasi elektoral. Selain itu, intelektual organik juga dengan lantang menentang para demagog yang sering kali mengatasnamakan rakyat. Intelektual organik ingin menyelamatkan pemilih sebagai objek praktek politik demagogi.
Alasan intelektual organik melakukan semua hal tersebut di atas, karena mereka ingin mengembalikan Pilkada untuk rakyat (the elections for the people) dan Pilkada yang jurdil (fair play). Democracy is the only game in town. Itulah pribahasa yang ingin ditegakkan oleh para intelektual organik di tengah politik elektoral Pilkada langsung terdominasi oleh praktek konspirasi antara kandidat berideologi Machiavellianisme dengan kaum “oligark” dan politisi demagog demi meraih kemenangan elektoral.
Dalam lanskap politik elektoral demikian, daerah membutuhkan banyak intelektual organik terlibat dalam ruang publik politik elektoral untuk dapat mempercepat perubahan budaya politik elektoral agar demokrasi terkonsolidasi dengan baik. Oleh karena itu, pertanyaan berikut yang layak diajukan di ruang publik politik elektoral adalah apakah mereka yang berpendidikan tinggi, cendekiawan, tokoh agama, aktivis gerakan, jurnalis berpengalaman, dan lain sebagainya layak disebut intelektual organik?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya membutuhkan riset ilmiah, tapi marilah kita jadikan pertanyaan tersebut sebagai pemantik refleksi bagi kita semua yang menginginkan demokrasi terkonsolidasi dengan baik. Bagi siapapun yang memiliki idealisme demokrasi, pasti mereka akan mau terlibat dalam gerakan perubahan budaya politik elektoral dengan cara mencerdaskan pemilih. Siapapun yang memposisikan diri sebagai penjaga moralitas politik, mereka bisa dikatakan sebagai intelektual organik. Siapapun mereka yang memiliki idealisme politik dan memperjuangakannya, mereka adalah intelektual organik.
Turunlah dari Menara Gading
Mereka yang mengaku intelektual, tetapi tidak mau menjadi intelektual organik –merujuk istilah Julien Benda (1928/1969:43), mereka adalah ivory-towered thinkers (pemikir yang berada di menara gading).
Mereka asyik dengan pemikirannya yang melangit. Mereka tidak mau terlibat dalam gerakan perubahan sosial-politik di ruang publik. Mereka tidak memiliki keberanian secara terbuka untuk melawan kekuatan politik yang sekiranya dapat merusak demokrasi itu sendiri. Mereka tidak mau terlibat langsung dalam gerakan mencerdaskan atau mendaulatkan pemilih. Mereka bukanlah the democracy advocate (pembela demokrasi).
Mereka jauh dari karakteristik intelektual sejati (the real intellectual). Bagi Julien Benda, intelektual sejati adalah orang memiliki kepribadian yang kuat, siap menanggung resiko, pantang menyerah atas masalah praktis (practical concerns), dan memiliki keberanian untuk menjadi oposisi permanen terhadap status quo (Said, 1996:7).
Saat ini, intelektual tersebut masih belum tepat jika disebut pengkhianat intelektual (the traitors of intellectual), karena masih terbuka peluang partisipasi politik mereka di ruang publik elektoral, kecuali tahapan elektoral Pilkada telah usai. Masih ada kesempatan besar bagi mereka untuk bertransformasi diri menjadi intelektual organik. Oleh karena itu, mari kita taruh harapan besar kita terhadap perguruan tinggi daerah sebagai tempat tinggal (home) dan pembiakan (breeding) intelektual untuk mempelopori menghadirkan atmosfir politik demokrasi elektoral lokal yang lebih baik.
Tidak menutup kemungkinan oligarki politik daerah juga mengkooptasi manajemen perguruan tinggi. Jika ada, intelektual kampus diharapkan dengan lantang untuk menolak orgarki tersebut. Oligarki tersebut melalui kekuasaannya sudah pasti mengekang kebebasan akademik intelektual kampus, apabila tidak sesuai kepentingan politiknya. Oligarki tersebut dapat mematikan kebebasan akademik, yang seharusnya sebagai ruh perguruan tinggi dalam mengembangbiakan intelektual organik baru.
Pandangan atau harapan positif yang sama juga harus kita alamatkan kepada organisasi kepemudaan, kemahasiswaan, dan NGO (Non-Governmental Organization/lembaga swadaya masyarakat). Dengan idealisme politik, intelektual yang ada di dalam organisasi-organisasi tersebut tentunya memiliki tekad kuat untuk terlibat aktif berwacana di ruang publik dengan gagasan kritis progresif, karena mereka adalah the guardians of democracy (penjaga demokrasi).
Tentunya nanti fakta politik akan membuktikan pandangan atau harapan positif tersebut di atas, apakah terbukti atau tidak? Waktu akan membuktikan semuanya dan saat ini tahapan elektoral Pilkada terus berlangsung yang membutuhkan partisipasi dari para intelektual daerah. Mari kita bersama dengan mereka yang memposisikan diri sebagai intelektual organik daerah. Melalui berwacana aktif di ruang publik, mari kita wujudkan demokrasi elektoral rasional.
Referensi
Benda, Julien (1928/2009) The Treason of the Intellectuals. Translated by Richard Aldington. With a new introduction by Roger Kimball. New Burnswick: Transaction Publishers
Gramsci, Antonio (1971/1992). Selections from the Prison Notebooks. Edited and Translated by Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith. 11th printing. New York: International Publishers
Habermas, Jürgen (1991). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence. Massachusetts: The MIT Press.
Mannheim, Karl (1954). Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge. With a Preface by Louis Wirth. New York: Harcourt, Brace, & Co., Inc.
Meyer, T. M., & Wagner, M. (2015). Issue Engagement in Election Campaigns The Impact of Electoral Incentives and Organizational Constraints. Political Science Research and Methods, 4(03), 555–571. doi:10.1017/psrm.2015.40
Murray, John (1867). Prometheus. In William Smith (Ed.), A Dictionary of Greek and Roman Biography and Mythology. Boston: Little, Brown, and Company. Digitalized by Perseus Digital Library, Tuft University Link: http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A1999.04.0104%3Aalphabetic+letter%3DP%3Aentry+group%3D47%3Aentry%3Dprometheus-bio-1 accessed March 15th, 2020, 06:16 PM.
Said, Edward W. (1996). Representations of the Intellectual: The 1993 Reith Lectures. New York: Vintage Books
Simon, Adam F. 2002. The Winning Message: Candidate Behavior, Campaign Discourse, and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.
Williams, Raymond (1976/2015). Keywords: A Vocabulary of Culture and Society. New Edition. New York: Oxford University Press.
Dokumen Riset dan Berita:
Digital 2020: 3.8 Billion People Use Social Media. Special Report. Link: https://wearesocial.com/blog/2020/01/digital-2020-3-8-billion-people-use-social-media accessed at March 15th, 2020, 05:22 PM.
Mahfud MD: Pilihlah Pemimpin yang Memiliki Keburukan Paling Sedikit. KumparanNEWS, 21 Agustus 2018, 18:59. Link: https://kumparan.com/kumparannews/mahfud-md-pilihlah-pemimpin-yang-memiliki-keburukan-paling-sedikit-1534852195310684551#aoh=15841788769436&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s diakses pada 15 Maret 2020, 21:45 WIB.