Oleh: Syafimilza Randalembah, Pelaksana Tugas Direktur Jaripede Sulawesi Tengah
Secara konstitusional UUD 1945 mengakui, jika setiap warga negara laki-laki maupun perempuan memiliki hak pilih yang sama, atau memeiliki kesetaraan untuk ikut serta dalam pemerintahan hak-hak ini dimulai sejak pemilu 1955 sampai sekarang. Pengakuan negara tidak saja ada dalam konstitusi tetapi diatur dalam konvensi hak-hak politik perempuan.
Hal itu dikemukakan oleh Direktut Jaripede Sulteng, Syafiyamilza dalam sebuah kesempatan. Menurut dia dalam dunia politik perempuan masih kurang diberitakan, peran politik perempuan seolah-olah telah diwakilkan kepada para politisi laki-laki yang menjadi publik figure, permasalahannya secara kultur maish menguatnya budaya patriarki di masyarakat (perempuan adalah second person, mahluk kedua). Adanya bias tafsir idiologi keagamaan tentang eksistensi perempuan.
Kata Dia, peran politik perempuan dalam pemilu yakni sebagai penyelenggara pemilu, sebagai peserta pemilu/pemilihan dan sebagai pemilih.
Potensi kesenjangan gender dalam pemilu 2019 berkampanye antar laki-laki dan perempuan, kesenjangan dalam menjaga integritas pemungutan dan penghitungan suara antar calon laki-laki dan perempuan, eksploitasi relasi kuasa yang tidak seimbang dalam dana kampanye, rentan kekerasan dan ancaman terhadap perempuan, system pemilu proporsional terbuka sebagai kompetisi yang bisa berakibat tealienasinya perempuan dalam satu daerah pemilihan.
Pemilih perempuan, kata Icha sapaan akrabnya, sangatlah rentan kehilangan hak pilihnya, suami sangat menentukan pilihan perempuan, ketidak mandirian perempuan dalam memilih, perempuan pemilih sebagai subyek yang menentukan proses kepemimpinan
Meningkatkan peran politik perempuan di kelembagaan politik (eksekutif, legislative dan yudikatif), memperkuat afirmaitf action, melakukan jejaring komunikasi dan pendidikan politik perempuan mendorong bugdting anggaran yang respon gender.