Oleh: Dr. Idham Holik
Anggota KPU Jawa Barat/Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, & Partisipasi Masyarakat
Di masa krisis kesehatan global, akibat pendemi Covid-19, apakah kita mesti berhenti berdemokrasi? Apalagi kini tidak ada kebebasan untuk bertemu di ruang publik biasa (conventional pubic sphere) secara fisik. Tentunya kebijakan Pemerintah tersebut tidak salah dan bahkan tepat sekali, agar masyarakat berdiam di rumah dan tidak melakukan aktivitas interaksi sosial secara fisik dengan yang lainnya (physically social distancing). Ini semua dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi penyebaran pandemi tersebut, karena Pemerintah memiliki kewajiban melindungi warga negara.
Ada banyak cara untuk kita tetap bisa berdemokrasi. Membaca adalah salah satu dari beragam cara tersebut. Membaca tidak sekedar aktivitas kognitif dimana pembaca memproses dan menyimpan informasi dari apa yang dibacanya saja, tetapi juga pembaca dapat berdialog secara imaginer dengan penulis –apalagi kini di setiap publikasi elektronik di internet tersedia ruang publik untuk berkomentar. Jadi, aktivitas membaca tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas berdemokrasi.
Deskrispi tersebut di atas juga ditegaskan oleh Doed Joesoef yang mengatakan “Demokrasi hanya akan berkembang di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca…” (dalam Sularto, dkk. 2004). Jadi, hanya dengan masyarakat yang memiliki budaya baca (reading society), demokrasi di suatu bangsa dan negara akan maju. Apakah kita ingin demokrasi Indonesia maju? Tentunya menginginkan. Itulah jawaban dari warga negara yang baik.
Kebiasaan membaca (reading habit) dibutuhkan dalam proses peningkatan kualitas pembangunan politik melalui konsolidasi demokrasi. Kebiasaan tersebut idealnya dimiliki oleh setiap warga negara. Oleh karena itu, artikel ini mencoba menstimulasi kita semua sebagai warga negara untuk memahami kembali signifikansi membaca bagi kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara.
Sering kali, kebiasaan membaca menuntut waktu luang keseharian (daily leisure time). Itu lah pandangan masyarakat pada umumnya. Kini di tengah aktivitas keseharian kita dihimbau untuk tetap di rumah dalam rangka jaga jarak sosial secara fisik. Tentunya, ada banyak waktu luang yang bisa digunakan untuk membaca sambil menyelesaikan pekerajaan kantor dari rumah (working from home). Membaca di rumah yang disaksikan oleh keluarga khusus anak-anak, secara tidak langsung memberikan ketauladan atau inspirasi kepada mereka. Membaca mengedukasi yang lain untuk membaca.
Idealnya memang membaca bukan untuk mengisi waktu luang, tapi menjadi passion of life (gairah hidup). Pastinya hal tersebut sulit dimiliki oleh kebanyakan orang. Apapun itu, baik membaca untuk mengisi waktu luang atau gairah hidup, yang jelas budaya membaca merupakan prasyarat penting untuk mengembangkan budaya demokrasi. Developing literacy, developing democratic culture. Itulah kira-kira pribahasa yang bisa dirumuskan. Mengembangkan literasi berarti mengembangkan budaya demokrasi. Begitu juga sebaliknya, seperti apa yang ditegaskan oleh John W. Miller & Michael C. McKenna (2016:9), destroying literacy, destroying cultures (merusak literasi, merusak budaya).
Dalam konteks Pemilu/Pilkada, tidak ada budaya demokrasi elektoral yang sehat, tanpa budaya membaca yang baik. Artinya, mengembangkan budaya membaca pemilih bersifat imperatif bagi semua pihak yang menginginkan demokrasi elektoral lebih baik, terutama bagi penyelenggara Pemilu/Pemilihan (Pilkada). RPP (Rumah Pintar Pemilu) yang dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum di seluruh Indonesia untuk memenuhi hal tersebut tidak sekedar data hasil, mekanisme, dan rekaman penyelenggaran Pemilu saja, tetapi juga harus dilengkapi dengan perpustakaan publik (public library) baik konvesional ataupun digital.
Pengembangan budaya membaca pemilih tidak hanya menjadi tanggung jawab individual pemilih saja, tetapi menjadi tanggung jawab bersama atau dalam istilah Pierre Canisisu Ruterana (2012:57) disebut tanggung jawab masyarakat (societal responsibility). Oleh karena itu dibutuhkan komitmen bersama (common commitment) agar membaca menjadi budaya. Dengan budaya membaca tersebut, pemilih akan menjadi yang terinformasikan dengan baik (well-informed beings) dan ini juga menjadi prasyarat dalam mendaulatkan pilihan politik pemilih.
Berdasarkan fakta statistik kemampuan membaca-menulis (literasi) masyarakat, Indonesia sebenarnya merupakan salah satu negara yang memiliki harapan besar dapat mengembangkan masyarakat baca (reading society) dengan baik.
Misalnya, bila merujuk pada data statistik literasi yang dipublikasikan oleh UNESCO[1] tahun 2018, rata-rata (%) literasi masyarakat Indonesia sangat tinggi yaitu mendekati 100% –artinya angka buta hurufnya rendah sekali. Menurut data UNESCO tersebut, masyarakat Indoensia diklasifikan menjadi tiga golongan yaitu pertama, usia 15-24 tahun rata-rata 99,71% (lelaki 99,72% dan perempuan 99,7%); kedua, usia 25 – 64 tahun rata-rata 93,99% (lelaki 95,66% dan perempuan 93,99%); dan ketiga, di atas 65 tahun 74,34% (lelaki 84,61% dan perempuan 65,59%).
Tetapi di sisi lain, berdasarkan penghitungan Indeks Alibaca (Aktivasi Literasi Membaca) Nasional yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (2019), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia memiliki kategori aktivasi literasi rendah yaitu berada di angka 37,32. Nilai tersebt tersusun dari empat indeks dimensi yaitu pertama Indeks Dimensi Kecakapan[2] sebesar 75,92; kedua, Indeks Dimensi Akses[3] sebesar 23,09; ketiga, Indeks Dimensi Alternatif[4] sebesar 40,49; dan keempat, Indeks Dimensi Budaya[5] sebesar 28,50%.
Membaca sebagai Politik Kultural
Capaian indeks tersebut memprihatinkan sekali. Indonesia sedang mengalami krisis budaya literasi dan krisis tersebut mengancam demokrasi Indonesia. Wajar saja, dalam Indeks Demokrasi 2019, EUI (The Economic Intelligent Unit) telah menempatkan Indonesia sebagai the flawed democracy regime (regim demokrasi cacat) dimana salah satunya tandanya adalah dengan budaya politik yang kurang berkembang.
Ini selaras dengan pemikiran Miller & McKenna (2016) tersebut di atas. Krisis budaya literasi memang sering melanda pada negara-negara yang sedang melakukan konsolidasi demokrasi. Selain kurangnya fasilitas perpusatakaan atau akses publik atas sumber bacaan, krisis budaya tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman atau kesadaran terhadap konsep belajar seumur hidup (lifelong learning).
Itulah kenapa Indonesia membutuhkan gerakan kampanye literasi. Gerakan tersebut bertujuan mengedukasi masyarakat untuk dapat memahami dan mengimplementasikan model literasi otonom (autonomous model of literacy) (Street, 1995). Dalam model tersebut, literasi tidak sekedar keterampilan membaca dan menulis, tetapi menjadi praktek sosial (social practice) yang dapat menghadirkan perubahan yang dilandasi pada kompetensi kognitif sebagai output (hasil) dari membaca.
Dalam konteks demokrasi elektoral, budaya literasi tentunya diharapkan dapat memperbaiki civic engagement atau partisipasi elektoral dan memperkuat konsolidasi demokrasi. Terkait hal ini pernah ditegaskan oleh Henry A. Giroux (dalam Friere & Macedo, 1987:11). Menurut mereka, literasi merupakan sebagai bentuk politik kultural. Jadi berliterasi, berarti kita sedang berpolitik kultural. Mari lewat membaca kita perbaiki demokrasi elektoral dan wujudkan Indonesia sebagai full democracy regime (regime demokrasi penuh).
Sebenarnya bangsa ini satu dasawarsa sebelum Indonesia merdeka sudah memiliki figur tauladan dalam budaya membaca. Pada akhir Januari 1935, Muhammad Hatta bersama Soetan Sjahrir dan tokoh intelektual pergerakan lainnya diasingkan dari Batavia ke Boven Digoel, di pusat New Guinea. Dalam keberangkatan ke daerah pengasingan tersebut, Hatta membawa enam belas peti bukunya (Mrázek dalam Lev & McVey, 1996:54). Salama di sana, aktivitas membaca Hatta tidak terhenti walaupun dalam pengawasan Belanda. Membaca adalah bagian tak terpisahkan dari hidupnya, walaupun selama masa perjuangan kemerdekaan.
Selain Hatta, ada figur tauladan lainnya di masa yang sama. Dalam kejaran kolonial Belanda, Tan Malaka dapat menyelesaikan penulisan karya seminalnya, Madilog. Karya tersebut ditulis di rentang 15 Juli 1942 – 30 Maret 1943. Tidak ada karya Madilog, tanpa budaya baca yang sangat kuat. Di tahun 1920-an dan 1930-an selama gerilya politik baik di dalam ataupun di luar negeri, Tan Malaka tetap melakukan kebiasaannya membaca. Tan Malaka merupakan figur teladan bagi Bangsa Indonesia dalam mengembangkan budaya membaca. Selain beliau dan di masa perjuangan kemerdekaan, Indonesia memiliki banyak figur tauladan lainnya dalam budaya membaca.
Sebuah pertanyaan reflektif, apakah kita sudah terinspirasi oleh para pendiri bangsa tersebut (the nation founding persons)? Apakah kita memiliki budaya membaca seperti mereka?
Sejak masa pembentukan negara Indonesia, budaya membaca sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. Sebagai generasi penerus bangsa, mari kita pertahankan dan kembangkan budaya tersebut melalui partisipasi aktif dalam gerakan kampanye literasi atau membaca. Hal tersebut dapat dimulai dari diri kita sebagai orang yang gemar membaca (readaholics) dan tidak sekedar itu saja, kita juga dapat mengaktualisasikan hasil bacaan ke dalam tindak sosial-politik keseharian. “Baca, Aksi” itulah kira-kira slogan yang tepat.
Pentingnya Aktif Membaca
Untuk menumbukembangkan minat atau kebiasaan membaca (reading habit or interest), pemilih harus memiliki pemahaman tentang signifikansi membaca. Secara sederhana, ada adagium tentang signifikansi tersebut yaitu membaca itu jendela dunia (reading is the window of the world). Dengan membaca, pemilih dapat melihat dunia, karena buku atau sumber bacaan lainnya adalah ekstensi manusia (extension of human beings).
Selain adagium tersebut, membaca juga dapat meningkatkan kompetensi kognitif dan rasionalitas politik pemilih. Membaca sebagai sumber pengetahun merupakan modal politik bagi pemilih dalam berpartisipasi elektoral. Oleh karena itu, pemilih harus dapat memahami signifikansi membaca dengan baik.
Dalam artikel ini, selain apa yang dideskripsikan di atas, setidak-tidaknya ada tiga signifikansi membaca lainnya yaitu pertama, membaca itu mengeluarkan dari keterbatasan diri. Ada inspirasi sangat menarik dari apa yang ditulis oleh Miguel de Cervantes dalam sebuah novelnya yang berjudul Don Quijote de la Mancha (1605 & 1615)[6]. Sebuah novel yang menjadi media ekspresi kegilaan membaca dari sang pengarang.
Dalam novel tersebut, Cervantes menarasikan bagaimana Don Quixote adalah seorang yang menghabiskan uang dan waktu untuk buku-buku fiksi. Setiap kali mengalami kegagalan, Don Quixote menemukan perlindungan dalam bacaannya. Baginya, buku-buku tersebut melindunginya. Cervantes menggambarkan Don Quixote dalam sinonimitas empat kata yaitu membaca, kegilaan, kebenaran, dan kehidupan. Dengan kegilaan dalam membaca, Don Quixote menemukan kebenaran dalam hidup. Dengan membaca, Don Quixote dapat mengalahkan keterbatasan dirinya (Fuentes, 1977:196; Mohammad, 2019).
Pelajaran dari Don Quixote, membaca mampu mentransformasikan kelemahan individual menjadi kekuatan dan membaca membuat manusia terbebas dari keterbatasannya. Tentunya, pemilih yang memiliki kebiasaan membaca yang baik akan memiliki horizon politik yang luas dan membuatnya memiliki kemampuan analisa politik elektoral yang melampaui keterbatasan dirinya. Dengan membaca, pemilih dapat memahami konstruksi politik elektoral para kontestan dengan komprehensif.
Kedua, membaca itu meningkatkan kecerdasan kontekstual (the contextual intelligence). Kecerdasan tersebut bersifat esensial bagi kemampuan analisa politik pemilih di masa kampanye elektoral yang sangat dinamis –dimana kampanye merupakan episentrum politik elektoral.
Dalam buku Literacy: Reading the Word and the World, Paulo Freire dan Donaldo Macedo (1987:1) menjelaskan bahwa membaca tidak hanya terdiri dari penguraian (decoding) kata atau bahasa tertulis, melainkan didahului oleh dan terjalin dengan pengetahuan dunia (knowledge of the world). Bahasa dan realitas secara dinamis saling terkait. Di awali dari kata, pembaca dapat memahami dunia. Melalui membaca, seorang pembaca dapat memahami ada hubungan antara teks dan konteks. Jadi dengan membaca, pemilih tidak sekedar memahami teks, tetapi memahami dunia.
Dan ketiga, membaca itu melawan. Itulah kira-kira kalimat yang tepat jika seorang membaca buku-buku pemikiran kritis (critical thought books). Dengan membaca, pemilih akan melakukan perlawanan terhadap kekuatan politik yang sekiranya dapat merusak demokrasi. Misalnya jika pemilih dapat membaca beragama buku tentang oligarki, pasti mereka akan bertindak untuk menentang politik tersebut.
Ada banyak buku yang menjelaskan tentang penelitian atau studi oligarki di Indonesia. Misalnya Richard Robinson dan Vedi R. Hadi, dalam buku Reorganising Power in Indonesia (2004), menjelaskan bagaimana pasca runtuhnya penguasa otoriter, jalan dibiarkan terbuka bagi oligarki untuk membangun kekuatannya lagi dalam masyarakat dan lembaga-lembaga Indonesia yang baru demokratis (newly democratic Indonesia). Oligarki terus bermetamorfosa agar dapat mendominasi di era sistem politik demorasi.
Hal ini juga ditegaskan oleh Jeffry Winter dalam buku Oligarchy (2011). Menurutnya, oligarki tidak tergeser oleh demokrasi tetapi justru menyatu dengannya. Oligarki berpenetrasi dalam praktek demokrasi. Praktek politik mereka, pada umumnya, didasarkan pada tindakan pemaksaan. Itulah kenapa para oligark sering disebut sebagai aktor politik pemaksa (coercive political actors) yang berkuasa.
Winter juga menjelaskan tentang hubungan antara oligark dan masyarakat (baca: pemilih) dalam konteks patron-klien. Merujuk pada pemikiran Winter tersebut, dalam Pemilu/Pilkada, pemilih selalu dijadikan klien politiknya, sehingga para oligark selalu memainkan klientelisme politik (political clientelism) dan ini bertentangan dengan konsep partisipasi otonom sebagai tujuan antara yang dikembangkan dalam penguatan konsolidasi demokrasi.
Dalam politik klientelisme, pemilih kehilangan kedaulatan politiknya. Bagi Susan C. Stokes (2009:648), klientelisme merupakan sebuah metode mobilisasi elektoral. Baginya, klientelisme terjadi ketika barang-barang material diberikan kepada pemilih sebagai imbalan atas dukungan elektoralnya. Jadi, politik uang (money politics) dalam beragam variannya menjadi strategi yang selalu dimainkan oleh para oligark untuk memenangkan kontestasi elektoral.
Pemilih dengan pengetahuan demokrasi yang baik yang diperoleh melalui kebiasan membaca (reading habit), tentunya akan menentang dan melawan oligarki dalam Pemilu/Pilkada. Tidak hanya itu, pemilih yang sudah memiliki kesadaran eksistensial tentunya akan berupaya mewujudkan demokrasi elektoral yang baik, karena Pemilu/Pilkada dipandang sebagai proses politik yang sangat menentukan pemerintahan (di daerah) untuk periode selanjutnya.
Dengan kebiasaan membaca yang baik, mari kita aktif dalam berdemokrasi yang baik. Tidak ada alasan bagi kita semua untuk meninggalkan kebiasaan atau tidak mau membaca. Apalagi, khususnya bagi muslim/muslimah, doktrin ilahiah pertama (the first divine doctrine) dalam Islam adalah perintah untuk membaca ( اقرأ) –dalam Q.S al Alaq (96) ayat 1. Begitu juga di agama lainnya, pasti ada perintah untuk membaca bagi ummatnya.
Internet dan Budaya Membaca
Di era masyarakat jaringan (network society), kebiasaan membaca masyarakat (baca: pemilih) mulai bergerser dari publikasi cetak (the printed publication) ke publikasi elektronik (electronic-based publication) seperti e-book, e-paper, e-magazine, e-news, e-journal, e-artikel di halaman blog, dan lain sebagainya. Dengan internet, kini pemilih dapat mengakses sumber bacaan tanpa terkendala oleh lokasi. Apalagi kini tidak hanya website yang menyediakan bacaan berbayar, tetapi juga semakin banyak website penyedia sumber bacaan elektrnok gratis.
Membaca publikasi elektornik tentunya menuntut kompetensi literasi media baru (internet). Mengapa demikian? karena di era pasca-kebenaran (post-truth era), internet belum terbebas dari hoak dan disinformasi. Memastikan publikasi elektornik tersebut berasal dari portal terpercaya atau terverifikasi merupakan suatu keharusan bagi setiap pengguna internet.
Internet telah menghadirkan banyak perubahan dalam kebiasan membaca (reading habit) masyarakat. Temuan riset Fayaz Ahmad Loan (2011) menyatakan bahwa kini pembaca generasi baru sedang berada dalam masa transisi dimana secara perlahan mengalami pergeseran (slowly shifting).
Pergeseran tersebut ditandai karakteristik yaitu (1) dari akses terbatas menjadi tak terbatas (unrestricted access); (2) dari sumber lokasl menjadi sumber dunia (worldwide source); (3) dari sumber cetak menjadi sumber daring (online source); (4) dari bahasa lokal menjadi bahasa inggris; (5) dari membaca individual menjadi membaca partisipatif (partisipative reading); dan (6) dari sedikit menghabiskan waktu untuk membaca menjadi lebih banyak (more time spent on reading). Pergeseran tersebut sedang terjadi Indonesia.
Dibandingkan tahun sebelumnya, populasi pengguna internet Indonesia mengalami peningkatan cukup signifikan yaitu 17% atau 25 juta pengguna –atau total pengguna internet sebanyak 175,4 juta dengan rentang usia 16 – 64 tahun. Data tersebut lebih besar daripada data pertumbuhan digital global yang hanya 7,0%. Dari kenaikan tersebut, ada 64% dari total populasi Indonesia sebanyak 272,1 juta jiwa yang sudah mengunakan internet. Itulah laporan riset Digital 2020 yang dirilis oleh We Are Social dan Hootsuite pada 30 Januari 2020. Indonesia terus mengurangi digital divide (kesenjangan digital) dengan terus memperbaiki infrastruktur dan akses internet.
Berdasarkan laporan tersebut, rata-rata waktu harian penggunaan internet di Indonesia dengan beragam media dan piranti cukup tinggi yaitu selama 7 jam 59 menit dalam sehari. Waktu harian tersebut atas rata-rata waktu harian penggunaan internet dunia yaitu 6 jam 43 menit. Indonesia pun berada ranking ke-8 dunia waktu per hari penggunaan internet. Deskripsi ini menstimulasi optimisme digital dalam pengembangan masyarakat baca (reading society) di Indonesia.
Tapi cukup disayangkan, laporan tersebut hanya menampilkan data rata-rata penggunaan media sosial (3 jam 26 menit), menonton televisi online (3 jam 4 menit), streaming musik (1 jam 30 menit), dan penggunaan konsol permainan (1 jam 23 menit). Data tersebut mendeskripsikan perilaku penggunaan internet yang merepresentasikan hanya budaya berjaringan (netting culture) budaya kepenontonan (spectatorship culture), dan budaya bermain (gaming culture) yang tinggi.
Belum ada data yang mendeskripsikan budaya membaca (reading culture) pengguna internet Indonesia. Oleh karena itu, ada sebuah pertanyaan yang layak diajukan untuk diri kita sendiri yaitu Apakah kita memiliki minat baca publikasi elektornik yang cukup tinggi? Seberapa lama waktu kita untuk membaca publikasi tersebut di setiap hari? Berapa jenis publikasi tersebut yang dibaca oleh kita setiap hari?
Tentunya bagi pribadi penikmat baca (readaholics) atau masyarakat baca, waktu yang lebih lama dan banyaknya akses publikasi elektronik menjadi tuntutan dan kebutuhan harian. Oleh karena itu, pemilih pengguna internet sudah harus menurunkan kadar social media addict (kecanduan media sosial) untuk kepentingan katalisasi perilaku narsistik, kecuali untuk berdiskusi di ruang publik (public sphere).
Untuk mewujudkan knowledge-based democracy (demokrasi berbasiskan pengetahuan), pemilih diharapkan dapat memiliki inisiatif untuk meningkatkan kebiasaan membaca (reading habit). Jika kebiasaan tersebut tidak mengalami perubahan atau peningkatan yang signifikan, Indonesia akan lamban meningkatkan indeks membaca (reading index) atau indeks literasi (literacy index). Ini merupakan tantangan kita bersama dalam meningkatkan kualitas demokrasi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemilih yang belum memiliki kebiasaan membaca dengan baik harus dengan kesadaran sendiri untuk dapat merubah konsep dirinya (self concept). Menurut Carl R. Rogers (1959), di dalam konsep diri tidak sekedar citra diri (self-image) seseorang, tetapi juga nilai diri (self-esteem atau self-worth) dan diri ideal (ideal self) –apa yang seseorang harapkan pada dirinya sendiri yang sebenarnya.
Dalam konteks nilai diri, pemilih sebaiknya memahami dirinya sebagai warga negara yang aktif dalam berpartisipasi politik dan dalam diri ideal, pemilih harus memposisikan dirinya sebagai pemilih/warga negara yang cerdas, rasional, dan bijak atau berintegritas dalam berpartisipasi politik atau menggunakan hak pilihnya.
Itulah kenapa, membaca harus dipersepsikan sebagai kebutuhan dasar dalam partisipasi politik. Literasi harus dipandang sebagai fondasi utama demokrasi elektoral. Oleh karena itu, di tengah akses informasi atau publikasi elektronik yang melimpah dan tanpa batas melalui internet, penyelenggara Pilkada bersama para aktivis penggiat literasi sebaiknya secara aktif melakukan edukasi literasi agar pemilih dapat meningkatkan kebiasaan membacanya, termasuk berbagi materi bacaan elektronik kepada pemilih.
Di akhir tulisan ini, kita semua semoga dapat memahami dengan baik bahwa demokrasi elektoral yang matang biasanya ditandai dengan semakin banyak populasi pemilih baca (reading voters). Mari kita wujudkan bersama melalui gerakan kampanye membaca dan mulailah dari diri kita sendiri.
[1] Singkatan dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
[2] Mencakup dua indikator yaitu melek huruf latin dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Indikator pertama didasarkan pada persentase penduduk 15 tahun ke atas yang dapat baca-tulis huruf latin dan indikator kedua didasarkan pada RLS penduduk usia 25+.
[3] Mencakup dua sub dimensi yaitu pertama, akses di sekolah dan kedua, akses di masyarakat. Subdimensi pertama mencakup indikator: (1) perpustakaan sekolah (dalam kondisi baik) dan (2) petugas pengelola perpustakaan sekolah. Terakhir, subdimensi kedua mencakup indikator: (1) perpustakaan umum (tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan perpustakaan desa); (2) perpustakaan komunitas (Taman Baca Masyarakat dan Pustaka Bergerak) Per Seribu Penduduk; (3) Membeli surat kabar (rumah tangga dalam sebulan terakhir yang membeli surat kabar/koran); dan (4) Membeli surat majalah/tabloid. Indikator ke-3 dan ke-4 dari subdimensi kedua tersebut diukur berdasarkan rumah tangga dalam sebulan terakhir membeli media-media tersebut.
[4] Mencakup 3 indikator yaitu: (1) sekolah memiliki akses internet; (2) mengakses internet (penduduk 5 tahun ke atas yang dalam 3 bulan terakhir pernah mengakses internet seperti browsing, media sosial, messenger, dan sejenisnya); dan (3) menggunakan komputer (penduduk 5 tahun ke atas yang dalam 3 bulan terakhir pernah menggunakan komputer (mencakup PC/Desktop, laptop/notebook, tablet).
[5] Mencakup indikator yaitu (1) membaca surat kabar; (2) membaca buku cetak (selain kitab suci); (3) membaca artikel atau berita dari media elektronik; (4) mengunjungi perpustakaan; dan (5) memanfaatkan taman baca. Untuk indikator ke-1 sampai dengan ke-3 adalah untuk penduduk 5 tahun ke atas yang seminggu terakhir melakukan aktivitas tersebut dan untuk indikatorke-4 dan ke-5 adalah untuk penduduk berumur 5 tahun ke atas dalam sebulan terakhir melakukan aktivitas tersebut.
[6] Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1605 dan untuk edisi yang kedua diterbitkan pada tahun 1615. Ini merupakan novel Spanyol terlaris dalam sejarah dimana sejak novel tersebut pertama kali diterbitkan, 1605, Don Quijote, sudah terjual 500 juta eksemplar. Novel ini sudah diterjemahkan ke dalam beragam bahasa di dunia. Tahun 1612, edisi pertama novel tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan tahun 1613, terjemahan bahasa Prancis. Baru empat abad kemudian, tepatnya tahun 2019, novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Mohamad dalam de Cervantes, 2019:vii).
Referensi.
Feuntes, Carlos (1977). Reflections. Don Quixote or the Critique of Reading. The Wilson Quarterly/Autumn 1977, Pp.186-202.
Friere, Paulo & Macedo, Donaldo (1987). Literacy: Reading the Word and the World. London: Routledge.
Giroux, Henry A. (1987). Introduction: Literacy and the Pedagogy of Political Empowerment. In Paulo Friere & Donaldo Macedo, Literacy: Reading the Word and the World. London: Routledge, pp.1-18
Joesoef, Daoed (2004). Budaya Baca. Dalam St. Sularto, dkk (Edt.). Bukuku Kakiku. Jakarta Gramedia, hal. 85-96
Loan, Fayaz Ahmad (2011). Impact of Internet on Reading Habits of the Net Generation College Student. In International Journal of Digital Library Services, Vol. 1 October-Desember, 2011, Issue: 2, Pp.43-48. Retrieved at: http://www.ijodls.in/uploads/3/6/0/3/3603729/loan_fayazi%5B4%5D_43-48.pdf accessed March 27th 2020, 02:55 PM.
Malaka, Tan (1999). Madilog: Materialisme Dialektika Logika. Jakarta: Pusat Data Indikator.
Mohamad, Goenawan (2019). Kata Pengantar. Dalam Miguel de Cervantes (1605), Don Quijote dari La Mancha. Diterjemahkan oleh Apsanti Djokosujanto dari judul asli El Ingenioso Hidalgo Don Quijote de la Mancha. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mrázek, Rudolf (1996). Sjahrir at Boven Digoel: Reflections on Exile in the Dutch East Indies. In Daniel S. Lev & Ruth McVey (Edts.), Making Indonesia: Essays on Modern Indonesia in Honor of George McT. Kahin . Studies on Southeast Asia. New York: Cornell Southeast Asia Program Publications, pp. 41-65.
Miller, John W. & McKenna, Michael C. (2016). World Literacy: How Countries Rank and Why It Matters. New York: Routledge.
Roger, Carl R. (1959). A Theory of Therapy, Personality and Interpersonal Relationship as Developed in the Client-Centered Framework. In S. Koch (Edt.), Psychology: a Study of a Science. Vol. 3: Formulation of the Person and the Social Context. New York: McGraw Hill.
Robinson, Richard & Hadiz, Vedi R (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon
Ruterana, Pierre Canisisu (2012). The Making of a Reading Soeciety: Developing a Culture of Reading in Rwanda. A Doctoral Thesis. Department of Behavioral Sciences and Learning, Linköping University, Sweden. Linköping Studies in Behavioral Science No. 165.
Solihin, Lukman dkk (Edt.) (2019). Indeks Aktivitas Literasi Membaca, 34 Provinsi. Jakarta: Puslijakdikbud
Street, Brian V. (1995). Cambridge Studies in Oral and Literate Culture. Literacy in Theory and Practice. Cambridge: Cambridge University Press.
Winters, Jeffrey (2011). Oligarchy. New York: Cambridge University Press.
Website
Indonesia. UNESCO. Retrieved at: http://uis.unesco.org/en/country/id accessed at March 26th, 2020, 05:10 PM
The Economist Intelligence Unit (2016). Democracy Index 2015: Democracy in an Age of Anxiety. Retrieved at: https://www.yabiladi.com/img/content/EIU-Democracy-Index-2015.pdf accessed March 27th 2020 11:13 AM
The Economist Intelligence Unit (2020). Democracy Index 2019: A Year of Democratic Setbacks and Popular Protest. Retrieved at: https://www.eiu.com/topic/democracy-index accessed March 27th 2020 11:05 AM
We are Social & Hoosuite (2020). Digital 2020: Gobal Digital Overview. Retrieved at https://wearesocial.com/blog/2020/01/digital-2020-3-8-billion-people-use-social-media accessed at March 27th 2020, 04:17 PM
We are Social & Hoosuite (2020). Digital 2020 Indonesia. Retrieved at https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia accessed at March 27th 2020, 04:05 PM