Beragamalah yang Cerdas

Oleh : Dr.H.Lukman S. Thahir, M.Ag

Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Palu

 

Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik terkait pandemik global virus covid 19, khususnya di Indonesia: pertama, Islam dengan jumlah penduduknya 224 juta jiwa, menjadi role model atau contoh terbaik dalam memberi solusi bagaimana menyikapi dan mencegah proses penyebaran virus tersebut. Mengapa demikian, karena dalam sejarah Islam, kejadian yang bahkan lebih parah dari covid 19, bisa teratasi, khususnya ketika Amar bin Ash menjadi gubernur Syam.

Kedua, selama ini, dua kutub model pemikiran Islam yang penuh dengan ketegangan mulai memperlihatkan tanda-tanda melunak untuk tidak menyatakan mencair, antara kelompok fundamentalis yang mengikuti model beragama gaya Abu ubaidillah, sikap melawan wabah dengan keyakinan agama tanpa pertimbangan akal atau rasionya, misalnya dengan menyatakan bahwa doa atau wudhu bisa mengalahkan virus, dsb, dan model keberagamaan Umar bin khattab, melawan wabah dengan keyakinan agama tetapi tetap menggunakan pertimbangan akal, misalnya menghindari virus tidak berarti lemahnya iman. Pelunakan ini terjadi karena ada kelompok ketiga sebagai penyeimbang, yaitu model beragama Amar bin Ash, penguasa Negeri Syam ketika itu, yaitu mengawinkan antara keyakinan agama, rasio dan otoritas kekuasaan sebagai jalan penyelesaiannya. Cara beragama seperti ini diwakili oleh pemerintah yang memutuskan perkaranya melalui pertimbangan dan kesepakatan ulama dan umara. Misalnya dengan menunda jumat, untuk daerah-daerah yang menjadi epicenter virus, menjaga jarak, berdiam diri di rumah atau meliburkan pembelajaran tatap muka sekolah dengan pembelajaran model daring. cara seperti ini persis dengam cara yang pernah dilakukan pemerintahan Amar bin Ash yang menyatakan: “Wahai manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Jagalah jarak, berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung2” atau karantinakan masyarakat bagi yang diduga tetjangkit virus untuk konteks saat ini.

Untuk Indonesia, pola seperti inilah yang teraman. Menghindari wabah bukan berarti lemahnya iman kita, menunda shalat jumat bukan berarti meninggalkan atau merusak syariat tetapi sebaliknya sebagai bentuk beragama yang cerdas. Memang bukan hal yang mudah untuk menghilangkan kebiasaan beragama yang normal kita lakukan, kepala kita pasti ada 1000 dalil dan argumentasi yang berbeda. Tetapi kalau kita sadar bahwa kita tidak berada dalam keadaan normal, maka kita akan dianggap “tidak waras” jika memaksakan suatu hukum atau aturan yang normal untuk diberlakukan pada situasi yang tidak normal. Itulah yang saya maksud dengan beragama yang cerdas. Merubah tantangan menjadi peluang, merubah bencana menjadi nirwana, dan merubah kesengsaraan menjadi kemakmuran. Hentikan semua perdebatan yang hanya akan menguras energi keagamaan kita. Hidup akan sangat melelahkan, sia-sia & menjemukan bila kita hanya menguras pikiran utk mengurus “bungkus”-nya saja & mengabaikan “isi”-nya .

Satukan langkah untuk menangkal pencegahan virus bukan melalui bungkusan agama, tetapi melalui isinya. Seperti kata Moh. Iqbal, Jangan hinakan pribadimu dengan imitasi
Bangunlah, hai kau yang asing terhadap rahasia kehidupan
Nyalakan api yang tersembunyi dalam debumu sendiri. Wujudkan dalam dirimu sifat-sifat Tuhan.
Itulah Indonesia, Dengan cara seperti ini? menyatunya semua tokoh agama, penguasa dan umat di bawahnya, tidak hanya mempercepat proses hilangnya sebaran virus covid 19, tetapi juga Indonesia akan tercatat di dunia sebagai salah satu negara yang sangat penting dalam memutus mata rantai sebaran virus yang mematikan tersebut.

Jaya Indonesia, jayalah Islam, dan jaya pula agama lainnya, dan bangsa.

Pos terkait